halaman

kotak pencarian

Senin, 09 Agustus 2010

Brand Suatu Produk Ikut Menentukan Dalam Persaingan Pasar

Memaknai Sebuah Kebanggaan
Thursday, April 29th, 2010
oleh : Harmanto Edi Djatmiko
 Merek-merek asli Indonesia telah berhasil menjadi tuan di negeri sendiri. Sekaranglah saatnya berjuang di level yang lebih tinggi: menang bertarung di regional Asia, lalu berkibar di level global. Menyaksikan betapa merek-merek asli Indonesia mampu menjadi tuan di negeri sendiri, pastilah membuat kita bangga. Bangga sekali, bahkan. Hasil survei SWA selama beberapa tahun terakhir yang bertajuk Indonesia Best Brand Award (IBBA) dan Indonesia Customer Satisfaction Award (ICSA) selalu menobatkan bahwa lima besar di setiap kategori produk didominasi merek lokal atau merek asli Indonesia. Di ajang IBBA, merek lokal menguasai 64%. Sementara di perhelatan ICSA, merek lokal meraup 55%.
Fakta itu – juga kebanggaan yang menyertainya – sudah sepantasnya kita dengungkan terus-menerus. Tak usah takut sikap seperti ini menjadikan kita sombong, apalagi takabur. Malah sebaliknya. Dengan selalu menancapkan fakta positif berupa keberhasilan itu, niscaya menginspirasi, memotivasi, dan akhirnya menstimulasi kita bekerja lebih keras untuk melahirkan dan mengibarkan lebih banyak lagi merek asli dalam negeri.
Lebih hebat lagi bila bukan saja sejajar dengan merek-merek asing, tetapi juga mampu mengunggulinya. Di tingkat nasional, seperti fakta yang terpapar di awal tulisan ini, hal itu sudah terbukti. Tugas kita sekarang adalah berjuang agar kebanggaan tersebut diangkat ke level yang lebih tinggi. Caranya, tak bisa lain, bekerja lebih keras lagi agar merek-merek asli Indonesia menang bertarung di level regional Asia, lalu berkibar di level global. Seperti Korea Selatan dengan Samsung, Hyundai dan LG-nya. Jepang dengan Toyota, Mitsubishi, Yamaha, dan seabrek lagi merek lainnya. Singapura dengan Singapore Airlines-nya. Malaysia dengan Petronas-nya. Thailand dengan Charoen Pokphand-nya. India dengan Bajaj dan Tata-nya. Cina dengan Lenovo, Haier dan Cherry-nya.
Indonesia? Kita sesungguhnya memiliki sejumlah merek hebat yang siap bertarung di level global. Departemen Perdagangan RI, misalnya, mencatat, sampai saat ini sebanyak 175 merek asli Indonesia telah malang melintang di pasar internasional. Menteri Perdagangan Mari Pangestu menargetkan, tahun ini (2010) ada 200 merek baru yang mesti ikut meramaikan pasar internasional. Sejauh ini, merek-merek yang berlaga di pasar global itu didominasi produk makanan dan minuman.
Tak ada yang mengejutkan dari fakta itu, karena sampai sekarang Indonesia memang masih unggul kekayaan alam dan kesuburan tanahnya. Yang menjadi pekerjaan rumah kita sekarang, bagaimana agar merek-merek yang mengibarkan aneka produk makanan dan minuman itu mampu bertarung (dan keluar sebagai pemenang) di pasar internasional.
Di industri lain pun, pengusaha kita sebetulnya sudah mulai sadar merek. Para pengusaha garmen yang dulu sekadar menjadi maklun atau “buruh jahit” untuk pemegang merek di negara maju seperti Amerika Serikat dan Eropa Barat, sekarang telah berani memproduksi dan memasarkan dengan merek sendiri. Dan sukses. Orang Indonesia kini merasa bergengsi jika mengenakan pakaian merek The Executive, Triset, Woods, Nail, atau Hammer – semua ini merek asli Indonesia. Orang kita juga merasa bangga bisa menggendong atau menenteng tas merek Exsport, Bodypack, Eiger, Neosack, dan Elizabeth – ini juga 100% merek asli Indonesia. Sepatu? Ini sebagian kecil saja: Spotec, New Era, Ardiles, Carvil, Loggo, Edward Forrer. Khususnya di industri garmen dan fashion ini, Indonesia memang sedang bertransisi dari ekonomi maklun ke ekonomi merek.
Bahkan, di industri perangkat handphone yang sarat teknologi pun, pengusaha kita sukses bertempur melawan produk impor (meski masih mengandalkan harga murah) melalui merek yang laku di pasar seperti Nexian, StarTech Mobile, Hi-Tech, dan lain sebagainya.
Bagaimanapun, berbagai upaya yang ditempuh Pemerintah RI untuk mendongkrak pamor merek asli Indonesia di luar negeri, patut kita hargai dan dukung. Sejak 2008, misalnya, Departemen Perdagangan RI serius membina merek lokal yang siap go international. Badan Pengembangan Ekspor Nasional juga sedang mengupayakan perwakilan perdagangan Indonesia di luar negeri agar gigih menjajaki dan mempelajari peraturan pendaftaran merek di luar negeri. Semua ini bertujuan untuk memuluskan merek-merek Indonesia melenggang di negara lain. Selain itu, promosi produk dan merek Indonesia juga terus digalakkan, misalnya pada 31 Mei sampai 1 Oktober nanti perusahaan-perusahaan Indonesia berpartisipasi di World Expo Shanghai China.

Negara-negara yang maju perekonomiannya (AS, Jepang, Korea, Malaysia, dan lain-lain) membuktikan, mereka sukses mengibarkan merek-merek kebanggaan nasional mereka hanya dengan kerja keras dan bahu-membahu antara pemerintah dan dunia usahanya. Berulang kali kita juga berwacana soal Indonesia Incorporated, lengkap dengan dasar pemikiran dan juklaknya. Soal konsep, apalagi di era Internet seperti sekarang, sangatlah mudah menyusunnya. Yang dibutuhkan sekarang hanyalah komitmen dan konsistensi pelaksanaannya. Betul kata W.S. Rendra, hidup adalah pelaksanaan kata-kata.




Menjadi Tuan Rumah di Negeri Sendiri
Thursday, April 29th, 2010
oleh : Team Redaksi

Di era persaingan bisnis yang makin terbuka, di mana merek-merek asing dengan bebasnya saling berlomba memikat konsumen di dalam negeri, tantangan yang dihadapi merek-merek lokal untuk menjadi pilihan di negerinya sendiri semakin berat. Tetapi, merek-merek yang terpilih ke dalam Top 250 Original Brands sanggup melakukannya. Apa saja strategi mereka?
Pakalolo:
Menjadi Merek Terhormat
Nama merek Pakalolo, sepintas seperti nama sebuah merek asal Italia. Terlebih digunakan untuk merek sepatu pria, di mana negeri asal Valentino Rossi itu menjadi salah satu kiblatnya, makin mengesankan keasingannya.
Padahal, semua salah adanya. Pakalolo merupakan merek asli Indonesia. Kata pakalolo diambil dari bahasa Bugis yang artinya: orang muda suka jalan-jalan.
Pakalolo dibuat oleh PT Teguh Murni Perdana (TMP), perusahaan yang sejak lama sudah bergelut di bisnis sepatu. Di tahun 1960-an, TMP sudah masuk pasar dengan menggunakan merek Enny Shoes. Memasuki tahun 1980-an, perusahaan yang didirikan oleh Husein Pangestu ini pun meluncurkan merek terbarunya, Grado. Sayangnya, Enny Shoes kini tidak dikembangkan lagi, sedangkan Grado difokuskan untuk produk sandal dan sepatu dari bahan sintetis. Adapun merek Pakalolo sendiri baru hadir tahun 1990-an.
Husein menuturkan, TMP bermula dari industri rumahan yang memiliki karyawan tak lebih dari lima orang. Perlahan tetapi pasti, perusahaan yang didirikannya tahun 1958 ini terus mengalami pertumbuhan. Sampai akhirnya, mereka bisa membangun pabrik di wilayah Tangerang.
Husein mengakui, di Singapura memang ada produk yang menggunakan merek Pakalolo. Namun TMP berhasil meregistrasikan nama merek ini lebih dulu di Indonesia. “Buat orang Bugis, arti Pakalolo itu orang lajang tukang jalan,” ujarnya sambil tersenyum.
Menurut Husein, Indonesia memiliki kualitas kulit yang dikenal di pasar internasional. Karena itu, Pakalolo ia fokuskan pada sepatu yang terbuat dari kulit. “Bikin sepatu itu bukan hal mudah. Harus pas. Kalau tidak pas, ya tidak nyaman,” ujarnya seraya menambahkan, maka itu memproduksi sepatu tidak boleh asal-asalan.
Sejak awal, lanjut Husein, Pakalolo memang diposisikan untuk pasar menengah-atas, sedangkan di pasar menengah-bawah, ia mengedepankan merek Grado. Hanya saja, karena harga jual Pakalolo tergolong cukup terjangkau (di bawah Rp 500 ribu), maka produk ini malah merangsek ke segmen pasar kelas menengah.
Sampai sekarang, Pakalolo menjadi flagship bagi TMP. Maka, kualitas produk ini sangat dijaga. Mulai dari bahan baku kulit, proses pembuatan sampai kenyamanan saat digunakan oleh konsumen menjadi perhatian utamanya.
Husein menyebutkan, Pakalolo sangat dijaga dalam mutu kualitas dan standar produksinya. Karena itu, TMP juga mendapat kepercayaan dari beberapa merek sepatu internasional yang melakukan proses produksi di pabriknya. Sayang Husein menolak menyebut merek-merek sepatu itu, tetapi yang jelas harganya di atas Rp 1,5 juta, bahkan ada merek sepatu yang dibuat oleh TMP harga minimumnya Rp 3 jutaan. Dengan standar kualitas yang sama dengan merek dunia itu pulalah Pakalolo dibuat. Sekitar 60% produk hasil TMP untuk pasar lokal dan 40% diekspor (maklun).
Budiman Pangestu, Direktur Pengelola TMP, mengatakan bahwa merek Pakalolo tidak pernah disiapkan untuk merek global. Meski memang terdengar seperti merek dari Italia. Hal itu hanya semacam kebetulan yang menguntungkan.
hMerek Palalolo teregister sebagai brand Indonesia sejak akhir dekade 1980-an,” kata Budiman. Menurut pria yang tak lain adalah putra Husein ini, pihaknya konsisten pada sepatu lelaki dari kulit. ”Kami tidak pernah menggunakan upper dari sintetis untuk merek Pakalolo.” Menurutnya, kalau pun TMP menggunakan bahan sintetis, pasti menggunakan nama merek lain. ”Jadi, pamor Pakalolo harus tetap terjaga sebagai sepatu berbahan kulit asli,” ia menegaskan.
Budiman menambahkan, tak ada upaya khusus yang dilakukan pihaknya dalam membangun merek Pakalolo. TMP lebih pada menjaga kualitas saja. Dengan begitu ia yakin produk Pakalolo akan dicari konsumen. Seperti disampaikan Husein, Budiman juga mengamini bahwa membeli sepatu itu menyangkut rasa nyaman penggunanya. Itulah mengapa jika orang sudah nyaman pada satu merek, ia akan mencari merek yang sama jika ingin membeli sepatu lagi. ”Ayah saya memang punya keahlian bagaimana membuat sepatu yang enak, beliau mendapat pengetahuan dari kakek,” tutur pria berusia 30-an tahun ini.
Menurut Handyanto Widjojo, pakar pemasaran dan merek dari Prasetiya Mulya, merek Pakalolo memiliki asosiasi yang kuat dengan kualitas. Konsistensi kualitas yang dijaga terus-menerus merupakan modal untuk membangun kepercayaan pelanggan. Janji yang dikemukakan benar-benar diupayakan dari awal proses produksi dan pengendalian mutu yang cermat. ”Diharapkan konsistensi nilai ini akan membuat Pakalolo lebih mudah melewati periode peralihan generasi dalam kepemimpinan perusahaan tersebut,” ujarnya.
Dengan semakin meningkatnya persaingan, lanjut Handyanto, nilai-nilai kualitas perlu dicerminkan dalam personalitas merek. Kualitas mempunyai dimensi yang luas, sehingga Pakalolo perlu memilih karakter kualitas yang hendak diusung. Kualitas dapat berarti kenyamanan, desain yang berkelas, ketahanan pemakaian, desain yang unik, detail yang kompleks, tampilan yang simpel tetapi elegan atau deretan panjang nilai-nilai lainnya. Menurut Handyanto, suatu merek harus menentukan nilai-nilai yang akan dipilih sebagai karakter sehingga memudahkan dalam mengidentifikasikan segmen pasar yang akan dibidik, memiliki ketajaman dalam melakukan positioning, juga dalam menyusun dan mengevaluasi strategi portofolio distribusi produk, serta komunikasi pencitraan kepada sasaran konsumennya.
Handyanto menambahkan, Pakalolo memiliki ruang gerak pengembangan komunikasi pemasaran yang luas dengan anggaran pemasaran yang tidak harus tinggi. Selain itu, Pakalolo juga harus mulai memanfaatkan Internet sebagai salah satu sarana promosi. Keterhubungan (link) dengan website lain dengan target pasar yang sama dan memiliki peluang diklik lebih tinggi akan membantu percepatan proses branding menuju resonansi karakter merek dengan target pasarnya.
Menurutnya, aktivitas pemasaran word of mouth tidak bisa mengandalkan pertumbuhan alami, perlu mengaktivasi para promotor yang memiliki potensi konversi target konsumen yang saling terhubung. “Yang tidak kalah penting dalam branding adalah creating story dengan pesan karakter yang kuat secara konsisten sehingga diharapkan word of mouth yang terjadi memiliki buzz effect yang berarti,” ia menjelaskan.
Budiman mengakui, kondisi pasang surut juga pernah dirasakan perusahaannya. “Lima tahun terakhir, banyak sekali merek baru yang lahir, bahkan tiap industri sama. Banyak orang menyeberang ke industri ini yang semula bukan di industri ini,” katanya.
Namun, kondisi tersebut tidak membuat perusahaannya gentar. Untuk mempertahankan pasar, perusahaannya melakukan pengembangan terus-menerus, memperbaiki terus yang sudah ada, dan terus inovasi. Menurut Budiman, selama lima tahun terakhir pertumbuhan penjualannya sekitar 20%. Sayangnya, baik Budiman maupun Husein tidak mau menyebut angka penjualan TMP.
Pakalolo hadir di setiap pusat dan toko sepatu terkemuka di seluruh Indonesia. Ada juga di beberapa ritel seperti Pasaraya, Matahari, Ramayana, WTC Mangga Dua, Plaza Semanggi, Artha Gading. “Kami sedang memikirkan awareness dengan memperbanyak toko Pakalolo, hanya saja investasinya cukup tinggi,” katanya.
Menurut Husein, karena pihaknya menjual tidak dengan harga tinggi, margin yang diraihnya tipis, maka itu ia tidak terlalu menekankan promosi gede-gedean. ”Kami senang banyak orang pakai Pakalolo. Banyak orang bekerja di perusahaan juga pakai produk Pakalolo,” ujar Husein. Itu pula yang membuat mereka tidak terlalu fokus pada promosi besar-besaran. “Kami percaya dengan konsisten pada kualitas, menggunakan bahan kulit terbaik akan membuat konsumen kembali membeli produk kami,” tutur Husein.
Budiman mengatakan, Pakalolo ingin menjadi merek yang dihormati di Indonesia. Jadi, kala merek-merek asing masuk menyerbu pasar Indonesia, Pakalolo bisa terus eksis di pasar. Meski ia tidak menggunakan bujet khusus untuk berpromosi dan memasarkan produknya.
Saat ini, tak kurang dari 500 karyawan bekerja di TMP. Menurut Husein, sebagian besar karyawan itu merasa bahagia dan betah bekerja di perusahaannya. “Hampir sebagian besar karyawan kami betah bekerja di sini, padahal di pabrik sepatu banyak orang tidak betah.”
Taufik Hidayat dan Herning Banirestu
Excel:
Lawan Produk Tiruan dengan Mutu dan Inovasi
Memiliki tangki penampungan air kini sudah jadi kebutuhan penduduk, khususnya di kota-kota besar. Dan, merek yang cukup diminati, selain Penguin, adalah Excel.
PT Grahaexcel Plastindo (GP), produsen penampung air (toren) merek Excel,
mengklaim produknya sebagai pionir dalam penerapan Triple Construction System dan teknologi Rotamould, plus penggunaan polietilena di Indonesia. Dengan Triple Construction System, GP mampu membuat tangki air plastik dengan tiga lapisan. Adapun dengan teknologi Rotamould, GP bisa membuat tangki air tanpa sambungan.
Menurut Yanny Teguh, Direktur Utama GP, semua produk Excel sudah sesuai dengan standar Food and Drugs Administration dari Amerika Serikat dan Japan Industrial Standard. “Kami kirim tenaga ke luar negeri dan mendatangkan tenaga ahli dari luar negeri untuk meningkatkan teknologi kami. Bahkan, cetakannya pun dari luar negeri,” ujarnya bangga..
Yanny mengungkapkan, untuk membangun merek yang baik, perusahaan yang memiliki pabrik di atas lahan seluas empat hektare di Tangerang ini fokus pada kualitas yang baik dan inovasi. Ia yakin produk yang bagus akan menjadi media promosi word of mouth. “Kalau puas, pelanggan pasti akan bercerita kepada orang lain,” katanya. Begitu juga inovasi. Hal ini akan memungkinkan pilihan semakin banyak, merek berkembang dan tetap eksis. “Kepercayaan orang harus dijaga dengan mutu. Mutu itu tidak bisa bohong. Dalam jangka panjang, mutu berpengaruh pada kesehatan,” ujarnya sambil mengungkapkan, usaha ini didirikan pada 1969 oleh bapak mertuanya (ayah Hary Purnomo Cipto, suaminya).
Idealnya, menurut Yanny, plastik yang digunakan untuk tangki air tidak boleh bahan daur ulang karena akan berbau dan lebih mudah rusak. “Banyak orang yang tidak tahu plastik itu bahan
yang bagus. Soal bau, itu karena plastiknya daur ulang,” katanya seraya menjelaskan, plastik mengalami reduksi daya tahan sebanyak 50% setiap didaur ulang. Itulah sebabnya, Excel tidak pernah menggunakan plastik daur ulang. Semua produk Excel menggunakan plastik baru yang bahan bakunya didatangkan dari luar negeri. Meski begitu, tangki air Excel tetap dibuat tiga lapis. Tujuannya, tangki air lebih tahan lama, mengurangi dampak radiasi ultraviolet yang bisa mengganggu higienitas air, dan mengurangi tumbuhnya lumut.
Soal harga, perusahaan yang memiliki ribuan karyawan ini tidak mematok harga yang mahal. “Kami bukan yang paling mahal. Silakan dicek sendiri,” ujar Yanny. Melirik daftar harganya, perusahaan yang awalnya merupakan perusahaan tangki air berbahan fibreglass dan beralih menjadi berbahan plastik pada 1980 ini mematok harga Rp 300 ribu hingga puluhan juta rupiah untuk produk customized.
Menurut Yanny, perusahaannya, yang pernah menjalin kerja sama dengan Unicef, tidak memiliki strategi pemasaran khusus. Selama ini Excel hanya memanfaatkan jaringan bisnis yang sudah terbangun selama puluhan tahun, plus menjaga kepercayaan para dealer. “Kami sudah seperti keluarga,” ujarnya sembari menambahkan, Excel fokus menggarap pasar dalam negeri.
Di mata Istijanto Oei, pengamat pemasaran dari Prasetiya Mulia Business School, kehebatan Excel adalah mampu membangun merek di lingkungan dealer, distributor dan toko. Ke depan, Excel perlu membangun mereknya ke konsumen supaya lebih kuat lagi. Adanya keterbukaan dan komunikasi dengan calon pembeli dapat membangun merek dari sisi pembeli.
Istijanto melihat produk tangki air sebenarnya memiliki sisi-sisi yang menyulitkan produsen dalam memasarkannya. Pertama, tangki air dipasang di tempat yang tersembunyi, seperti di atas atap, sehingga mereknya tidak banyak terekspos ke konsumen. Kedua, tangki air termasuk produk tahan lama. Alhasil, konsumen cukup membeli satu kali saja, dan tidak perlu bergelut secara rutin dengan benda ini. Ketiga, tangki air dipasang oleh pihak lain seperti kontraktor atau tukang. Akibatnya, konsumen hanya mengandalkan pihak lain yang membeli dan memasang produk ini.
Bagi Yanny, sejauh ini kendala yang dihadapi Excel di lapangan adalah tingginya biaya transportasi karena ukuran tangki air yang memakan tempat, terbatasnya infrastruktur industri di Indonesia seperti listrik yang tidak stabil dan pasokan gas yang terbatas, serta aksi tiru produsen lain. “Kalau mau berantem tiap hari, capek,” katanya. Jalan keluarnya, Excel berkonsentrasi untuk berinovasi dan menjaga kualitas produk.
Hingga kini Excel sudah memiliki 15 jenis produk (termasuk tangki air) yang masing-masing punya lima varian. Contohnya, tangki air plastik yang memiliki 18 ukuran dengan berbagai variasi ukuran dan warna (oranye, birudan hitam). “Tapi kami juga melayani warna lain jika diminta,” ujar wanita yang pernah menjalin kerja sama dalam proyek transmigrasi ini.
Kini selain memproduksi tangki air, Excel juga memproduksi bak persegi panjang (rectangular tub) yang biasa digunakan untuk pembibitan ikan, kotak pendingin (cool box/fish box), kerucut (traffic cone), pemisah jalan (road barrier), atap plastik untuk rumah (polypropylene roofing), atap plastik untuk pabrik, lembaran/plat plastik (polypropylene/PP sheets), lembar polycarbonate yang biasa digunakan sebagai kanopi, dan produk-produk customized berbahan plastik. Tangki airnya terdiri dari jenis tangki air silinder, tangki air tanam, bak air, tangki air untuk kendaraan transportasi, dan tangki air stainless steel dengan berbagai ukuran. Tak hanya cukup segitu, tahun ini Excel akan meluncurkan 2-3 produk baru berbahan plastik.
Yang jelas, “Rencana ke depan adalah penambahan produksi dan peningkatan standar mutu sehingga produk Excel dapat dikenal dan diterima di luar negeri,” kata Yanny. Ia berharap Excel menjadi perusahaan produk-produk berbahan plastik yang terdepan. “Visi kami, Excel akan diasosiasikan dengan mutu yang baik dengan harga terjangkau.”
Melihat eksistensi Excel yang kuat di pasar, Istijanto melihat merek ini punya potensi lebih luas lagi ke depan. Menurutnya, jika Excel semakin kuat menancap di benak kontraktor, GP dapat mengekstensi merek ini: untuk pengembangan produk yang berkaitan dengan air seperti pompa air serta pipa PVC untuk air dan keran. Karena itu, Excel dapat melakukan terobosan pemasaran seperti layanan pascajual dan edukasi tentang air sehat. Ia meyakini cara ini akan membuat Excel mendapat pasar yang lebih luas dari replacement market (penggantian tangki air merek lain dengan Excel.
Yuyun Manopol & Ahmad Yasir Saputra
Riset: Dian Solihati
Tessa: Tisunya Indonesia
Meski sempat sulit memenetrasi pasar modern, saat ini di industri converting tissue, merek Tessa berhasil menjadi top of mind. Ini dibuktikan dengan keberhasilannya menyabet Top Brand selama tiga tahun terakhir. Dari sisi penjualan pun, merek yang dikembangkan PT Graha Kerindo Utama (GKU) ini terus melesat dan kini berada di peringkat pertama di industri tisu Tanah Air.
Berdasarkan data internal GKU, saat ini perusahaan di bawah payung Kelompok Kompas-Gramedia (KKG) ini menguasai 54% pangsa pasar tisu di Indonesia untuk tiga merek yang diusungnya: Tessa, Multi dan Dynasti. Kontribusi Tessa di perusahaan sebesar 60% atau mengambil hampir 30% pangsa pasar dari total pasar tisu nasional.
Seiring dengan peningkatan penjualan, kapasitas produksi pun makin digenjot GKU. Sebelumnya, GKU hanya memiliki pabrik pemotongan kertas di Cibitung seluas 6 hektare. Sejak 2006, GKU telah memiliki pabrik penggilingan di Cikampek seluas 5 ha. Alhasil, terjadi peningkatan volume produksi sampai tiga kali lipat. Di awal produksi, hanya 30 ton/bulan, kemudian naik menjadi 500 ton, dan kini mencapai 2 ribu ton/bulan.
Diakui Bambang Dwi Setiawan, Direktur GKU, ketika awal-awal KKG merambah bisnis converting tissue lewat GKU, pihaknya kurang fokus membangun Tessa karena ada bisnis lain yang digarap, yakni produksi kertas leces. Menurut Harris F. Sitorus, Presiden Direktur GKU, pihaknya terjun ke converting tissue dengan mengibarkan merek Tessa sejak 1988. Ketika itu di pasar banyak merek tisu asing — setidaknya berbau asing — yang mengerubuti pasar, ada Kleenex, Cord, Fresca (merek lokal yang berbau asing) dan Softies dari kelompok Softex. “Waktu itu beberapa nama ini mendominasi pasar,” kata Harris.
Diakui Harris, saat itu agak sulit masuk ke pasar modern. Pemain lama memblokade jalan Tessa masuk ke gerai modern karena melihat nama besar KKG di belakangnya. “Selama kurang-lebih dua tahun kami tak bisa masuk ke supermarket,” ujarnya. Namun, ini tak membuat GKU patah arang. Blue ocean strategy diayun, antara lain distribusi bergerak dari wilayah pinggiran kota.
Tim GKU juga masuk melalui anak-anak sekolah dan warung tradisional. Waktu itu, untuk pertama kalinya Tessa menawarkan tisu dalam bentuk kemasan kecil ketika pemain lama masih menggunakan format lama (besar) dengan kemasan karton. Menurut Bambang, Tessa ingin mengubah gaya hidup anak muda pada 1990-an. GKU kemudian menggeber dengan canvasing sebagai upaya memotong lapis distribusi di wilayah Jabodetabek dan kompensasi sulit masuk ke pasar modern. Upaya tersebut berbuah manis. Tessa laku di pasar.
Menurut Bambang, nama Tessa diambil dari singkatan tisu Indonesia. Awalnya, pihaknya malu-malu menyebut Tessa sebagai produk Indonesia. Kondisi riil saat itu membuat nama asing terkesan lebih bernilai. Namun, akhirnya Tessa menunjukkan jati dirinya dengan slogan-slogan seperti I love Tessa, tissue Indonesia. Dalam perjalanannya menguasai pasar converting tissue, ternyata Tessa mempunyai magic brand. “Namanya mudah diingat. Para pesaing banyak bilang, Tessa sudah tidak bisa dikalahkan,” ujar Bambang. Ia menambahkan, tonggak penting dalam membangun merek baru terjadi pada 2006.
Tak hanya nama yang mudah diingat. Menurut Harris, tisu ini juga masuk dengan kelebihan desain grafisnya yang tak mudah dilupakan sebagai diferensiasi produk dibanding pemain lain. Juga, dalam hal desain kemasan, GKU membuat produk yang sesuai dengan fungsinya. Untuk itu, dibuat varian yang lebih menyentuh karakter konsumennya. Ada identitas untuk setiap item produk yang ditawarkan Tessa. Ada desain heritage yang abadi dan paling diingat konsumen yang lebih digemari ibu-ibu dan memberikan kontribusi paling besar dibandingkan stock keeping unit (SKU) lain yang kini jumlahnya 50-an untuk tiga merek yang dibangun. GKU telah mencakup semua lapis segmen lintasstatus sosial dan lintas usia.
Strategi komunikasi juga dilakukan dengan membuat berbagai slogan citra berkesinambungan. Misalnya, Tisu Tessa, tissue Anda di mana saja! Slogan citra yang dipakainya saat ini lebih menggenerikkan Tessa: Tissue, ya Tessa! Menurut Bambang, Tessa juga tetap mempertahankan kelebihan yang dimiliki, yakni lembut dan kuat yang kemudian menjadi identitas Tessa. “Kami terus develop kekuatan ini dengan tagline-tagline yang kuat. Dan 10 tahun ke depan, kami ingin bilang, ‘Tessa tisu Indonesia, tisu dunia’,” kata Harris yang sebelum menjabat posisi puncak di GKU adalah auditor KKG.
Tak hanya berkibar di dalam negeri, di mancanegara pun GKU mulai menancapkan kukunya. Terutama, dalam bentuk jambu rol atau skala besar. Mengusung kualitas kertas yang lembut dan kuat, perusahaan ini merangsek ke beberapa negara tujuan ekspor, terutama negara-negara Asia, Australia, Selandia Baru, dan negara-negara Timur Tengah. Bila kelompok Sinar Mas kuat di negara-negara Eropa dan Amerika, kualitas produk tisu GKU justru mulai diperhitungkan di negara-negara ASEAN. Juga, mengekspor dengan menggunakan merek Tessa, bahkan Multi, ke Singapura. “Kami juga telah mengekspor mesin potong kertas produksi sendiri ke negara lain seperti India, Pakistan dan Arab Saudi,” tambah Bambang.
Merambah ekspor, menurut Harris, bukan dilakukan melalui acara pameran atau ajang promosi below the line lainnya. Melainkan dari mulut ke mulut lewat jaringan pemasok. Meski demikian, pengembangan merek di luar negeri sejauh ini sudah dilakukan dalam bentuk selebaran (brosur). Merek Tessa sudah beredar di India, Pakistan, Nepal dan negara-negara Timur Tengah. Di Singapura merek Tessa sudah lebih dulu diregistrasi pemain lain. “Kami sudah gugat masalah ini di Singapura,” kata Harris tandas.
Menurut Bambang, ada tiga hal yang membuat merek Tessa semakin kuat. Pertama, brand elements-nya yang mencakup: nama yang mudah diingat serta desain kemasan mulai dari desain, pemilihan bentuk huruf dan warna, sampai rentang produk yang dikemas dalam beberapa ukuran. Kedua, strategi komunikasinya. Awalnya, lebih banyak melakukan kegiatan below the line dengan menguatkan tenaga penjualan. Sekarang mulai intens beriklan di televisi dan media cetak (melalui jaringan media KKG), serta terus membangun awareness di masyarakat dengan slogan Kalau bicara tisu, ya Tessa! Juga, mengambil hati konsumen remaja yang potensinya cukup besar sampai membeli lisensi ke Warner Bros untuk mendapatkan beberapa gambar tokoh kartunnya.
“Kami membangun persepsi image dengan kampanye tematis, tidak hard selling. Untuk remaja, misalnya, kami buat slogan Tissue remaja yang berjaya. Atau, Berbagi kelembutan dengan Tessa, dan sebagainya,” ungkap Bambang. Untuk terus menggempur pasar, anggaran promosi Tessa yang digelontorkan belakangan ini cukup besar. “Untuk iklan saja bisa Rp 1 miliar/bulan atau sekitar 5% yang diambil dari total penjualan,” ungkap Harris.
Menurut Sumardy, pengamat dari Octovate, Tessa cerdik memanfaatkan peluang. Di pasar sudah ada Paseo yang bermain di kelas lebih ke atas, sedangkan Tessa bermain pada harga yang lebih terjangkau yang secara volume memang lebih besar. Strategi harga lebih terjangkau membuat Tessa lebih mudah memenetrasi pasar. Ia juga menilai aktivitas promosi Tessa selama ini lebih menonjolkan functionality-nya, sesuai dengan positioning-nya: produk dengan harga terjangkau.
Kalau Tessa mau fokus menjadi brand affordable, menurut Sumardy, kuncinya adalah sejauh mana orang membeli Tessa bukan karena harga, tetapi karena citra mereknya: memberikan kualitas dengan harga terjangkau. “Memang saat ini Tessa masih menjual dari sisi functionality dan affordability-nya, tapi ke depannya, kalau industri ini tumbuh terus dan kompetitor semakin banyak, Tessa harus mencari cara bagaimana agar orang membeli Tessa dan merasa Tessa punya image yang bagus dan kredibilitas yang bagus,” ungkapnya. Di matanya, sekarang Tessa belum terlalu banyak melakukan investasi merek. “Komunikasi dan promosinya masih fokus di produk. Jadi, product campaign-nya lebih kuat.”
Henni T. Soelaeman dan Siti Ruslina
Riset: Dian Solihati
GT Man:
Tekad Menjadi The Real King
Berbicara tentang produk celana dalam pria, setiap negara mempunyai merek yang kuat. Amerika Serikat, misalnya, mempunyai merek Jockey, Taiwan terkenal dengan cap tiga pistol, dan Jepang mempunyai merek Gunze. Indonesia? Tampaknya, kaum Adam di Tanah Air akan sepakat menyebut GT Man.
Tak salah, saat ini merek lokal GT Man menguasai pangsa pasar celana dalam pria di Indonesia, mengalahkan merek luar, seperti Hing’s, Jockey, Piere Cardin dan Crocodile. GT Man menjadi market leader dengan menguasai lebih dari 50% pangsa pasar. “GT Man belum menjadi king, tapi sedang menuju ke sana. Saat ini market share kami lebih dari 50%. Untuk menjadi king, harus menguasai 70%-80% pasar,” ujar Ricky Gunawan, Presdir PT Ricky Putra Globalindo Tbk. (RPG) – produsen GT Man.
Diklaim Ricky, saat ini RPG mempunyai 40 perwakilan di seluruh Indonesia. Setiap tahun penjualannya tumbuh 20%-25%. Bahkan hingga 2002, GT Man pernah diekspor ke Afrika dan Timur Tengah. Di sana, merek GT Man sangat dikenal dan penjualannya bagus. Sayangnya, produk GT Man dipalsukan oleh produsen celana dalam asal Cina, sehingga diputuskan menghentikan ekspor sementara waktu. Pabriknya yang dibangun di atas lahan 20 hektare di wilayah Citeureup, Bogor, memiliki kapasitas produksi terpasang hingga 1,2 juta lusin. Namun, produksi GT Man baru mencapai setengah dari kapasitas terpasang itu.
Keperkasaan GT Man sebagai penguasa pasar di segmen celana dalam pria tidak diperoleh dalam waktu singkat. Ricky (60 tahun) mesti mengembangkan dan membesarkan GT Man ini dengan susah payah. Bagaimana jatuh-bangunnya Ricky mengembangkan GT Man?
Sejatinya, Ricky bukanlah wajah baru di industri garmen. Bahkan, selama dua tahun ia mendalami garmen – termasuk manajemen dan pemasarannya – di Kansai Kenshu Center dan Asahi Kaishi, Osaka, Jepang. Ricky memulai kariernya dengan meneruskan bisnis kakaknya sebagai grosir garmen di Pasar Pagi, Jakarta, pada 1973. Di toko berukuran 1 x 2 meter itulah Ricky melakukan pelbagai transaksi bisnis.
Selanjutnya, Ricky berhenti menjadi pedagang garmen, karena ingin menekuni produksi di bidang yang sama. Ia memulai usahanya di bilangan Sawah Lio, Jakarta Barat, dengan 10 mesin rajut dari Jepang. Namun, setelah 12 tahun bergumul di bidang tekstil, pada 1984 Ricky membuat keputusan penting: meninggalkan perajutan dan membuat celana dalam pria. Alasannya, di industri celana dalam, model dan warna tidak terlalu menentukan. Terpenting enak dipakai dan nyaman. Lagi pula, menurut pengamatan Ricky, ketika itu Indonesia belum memiliki merek nasional untuk celana dalam pria. Kebutuhan celana dalam pria dipenuhi oleh merek asing, seperti Swan, Hing’s dan Rider. Swan merupakan lisensi dari Hong Kong, sedangkan Hing’s dan Rider dari Cina. Ketiganya merupakan merek celana dalam pria yang sangat kuat pada 1980-an. Toh, Ricky melihat masih ada peluang untuk mengembangkan merek lokal. Menurutnya, di setiap negara pasti ada satu merek lokal pakaian dalam pria yang menjadi rajanya. “Kami ingin ada merek lokal yang menjadi king-nya di Indonesia,” kata Ricky.
Bertolak dari keyakinan itu, melalui bendera PT Ganefo, Ricky meluncurkan celana dalam lokal merek GT Man – merupakan akronim dari Ganefo Tekstil Man (yang menandakan bahwa produknya itu khusus buat laki-laki). Tentu saja, melalui GT Man ini Ricky ingin menawarkan diferensiasi, bukan sekadar memproduksi celana dalam. Ketika itu, model celana dalam yang populer adalah yang berkaret. Nah, Ganefo memproduksi celana dalam tak berkaret, tetapi memakai spandeks – karet yang sudah diolah dan dilapisi kain katun, sehingga sangat elastis dan tidak meleleh jika kena panas, juga tidak menyebabkan iritasi kulit.
Singkat cerita, pada 1985 GT Man diproduksi dan dipasarkan. Dari segi produksi, Ricky tidak menghadapi masalah. Kendala utamanya adalah pemasaran. Ternyata tidak mudah memasarkan satu merek baru yang sama sekali belum dikenal. Apalagi produk yang ia bawa pun berbeda. Penjual grosir di Tanah Abang juga menolak produknya karena belum dikenal. Karena ditolak para pedagang grosir Tanah Abang, akhirnya ia memutuskan menjual lewat pedagang kaki lima. Ia menyebar lima mobil van buat mendatangi pedagang kaki lima di berbagai wilayah di Jakarta, termasuk di jembatan penyeberangan. Sebagai tahap awal, setiap pedagang dititipi dua lusin. Nah, besoknya jika mau tambah satu lusin, baru bayar. “Memang yang dua lusin itu hitungannya banyak yang tidak bayar. Tapi tidak apa-apa. Anggap saja sebagai bagian dari promosi. Yang penting orang mau mencoba dan kenal merek GT Man,” ungkap Ricky.
Boleh jadi, karena kualitasnya lebih baik dan kemasannya menarik, perlahan-lahan GT Man mulai disukai konsumen. Dan, permintaan pun berdatangan. “Setelah konsumen sudah ada, kami perkecil. Kami tidak suplai lagi ke kaki lima supaya mereka mencari ke Tanah Abang,” ia menjelaskan. Strategi itu ia lakukan setelah satu tahun berjalan. Dengan begitu, pedagang kaki lima pun mencarinya di Tanah Abang. Setelah GT Man cukup dikenal di Jakarta, teknik gerilya ke kaki lima ini diterapkan ke Bandung, lalu wilayah Jawa Barat lainnya. Juga, di Jawa Tengah, Jawa Timur dan wilayah-wilayah lain di Indonesia. “Modelnya sama, kaki lima dulu, baru ke grosir,” ungkapnya.
Usaha Ricky berhasil. Pada 1987, ia mendirikan PT Ricky Putra Garmindo. Melalui perusahaan inilah, GT Man diproduksi dan dikembangkan hingga menjadi 70 item produk. Tahun 1996, perusahaan berubah nama menjadi PT Ricky Putra Globalindo (RPG), serta mendirikan anak perusahaan di Medan dan Surabaya. Tahun 1997, mendirikan tiga anak perusahaan lagi, yakni di Palembang, Semarang dan Bandung. Tahun 1998, RPG menjadi perusahaan terbuka. Tahun 2002 RPG mulai buka showroom pakaian dalam pria di Indonesia.
Setelah menggarap pasar kaki lima dan grosir selama lebih dari lima tahun, GT Man mulai masuk ke gerai modern. Tak hanya itu. Untuk terus mengembangkan merek GT Man agar lebih dikenal masyarakat dan produknya bisa semakin dicoba banyak orang, Ricky pun menggelar berbagai kegiatan pemasaran seperti program penukaran celana dalam di sekolah-sekolah. Untuk beberapa wilayah perumahan, ada pula program pemesanan produk dengan dijahitkan huruf khusus. Misalnya, jika di satu keluarga ada tiga anak lelaki, maka ketika dicuci pembantu, celana dalam kemungkinan akan tertukar, sehingga konsumen bisa memesan untuk dijahitkan huruf di celana dalam sebagai pembeda. Misalnya anak pertama dijahitkan huruf A di celana dalamnya, anak kedua huruf B, dan anak ketiga huruf C. Termasuk pihaknya pernah bekerja sama dengan polda untuk mensponsori sejumlah billboard layanan masyarakat yang dipasang di berbagai sudut jalan kota besar. “Promosi yang kami lakukan langsung kepada konsumen,” Ricky menandaskan.
Di department store juga diadakan acara menarik dengan berbagai hadiah. GT Man mempunyai displai khusus di setiap department store. GT Man juga membuat iklan TV dengan slogan: Antislip, yang menggunakan endorser Mandra (saat sinetron Si Doel sedang populer) dan pelawak Mat Solar (pemeran sitkom Bajaj Bajuri). Di sisi lain, Ricky terus menambah jumlah item produknya. Setiap produk yang kurang diminati pasar akan diganti dengan yang baru. “Kami punya 70-100 item produk. Dan, setiap bulan mengeluarkan 2-3 merek baru,” Ricky mengklaim.
Beberapa tahun terakhir, Ricky membuat merek turunan: GT Kids untuk anak-anak laki-laki (sejak 6 tahun lalu) dan GT Young&Sport untuk remaja (sudah 1-2 tahun terakhir). Selain itu, RPG juga memproduksi kaus dalam dan kaus kaki pria dengan merek GT Man. Bahkan, RPG pun memasarkan produk lisensi sejumlah merek asing dari Walt Disney, Warner Bros, dan RM Enterprises. Termasuk menjahitkan sport apparel (kaus kaki, T-shirt) sejumlah merek asing seperti Adidas, Converse, Reebok. Toh, sejauh ini kontribusi pendapatan RPG terbesar (60%) masih disumbang dari penjualan celana dalam GT Man. “Target kami, ingin menjadi king underwear pria di Indonesia. Dan, tahun ini kami akan coba go Asia,” Ricky bertekad.
Keperkasaan GT Man menjadi penguasa pasar celana dalam pria, diakui pula pengamat pemasaran dari Southeast Asia dm-IDHolland Daniel Surya. Menurut Daniel, kekuatan GT Man sebagai salah satu pelopor dengan keberanian membangun merek sendiri di kategori industri yang dulu tidak pernah terpikirkan oleh produsen lain. “Di sisi lain saya melihat tekanan ‘price war’ juga menjadi tantangan bagi merek pelopor yang sudah terjebak dalam dunia yang ‘similar’,” ujar Daniel mengingatkan.
A. Mohammad B.S. & Wini Angraeni
Riset: Dian Solihati
Wika SWH:
Setara dengan Produk Impor Ternama
Bagi keluarga pengguna pemanas air, mestinya merek Wika SWH tak lagi asing. Maklum, di pasar lokal, merek produk pemanas air dengan energi matahari yang cukup populer selain Solahart adalah Wika SWH.
Merek Wika SWH — SWH adalah singkatan Solar Water Heater – sudah cukup identik sebagai produk untuk kalangan kelas atas. Maklum saja, harganya Rp 12–22 juta/unit, tergantung tipe dan kapasitasnya. Nah, yang belum disadari banyak orang, produk ini betul-betul buatan dalam negeri, tepatnya produk PT Wijaya Karya Intrade (WKI), anak usaha PT Wijaya Karya.
Menurut Satrio Adji, Manajer Pemasaran WKI, Wika SWH merupakan produk konversi energi yang dihasilkan perusahaannya sejak 1988, atau sudah berusia 22 tahun. Diakuinya, WKI bukan perusahaan yang pertama kali memopulerkan pemanas air bertenaga surya, karena sebelumnya ada Solahart (asal Australia) yang terjun ke pasar sejak 1972. Ia menyebutkan ada 21 pemain di produk sejenis. Wika SWH dan Solahart termasuk dalam lima besar.
Satrio mengakui produk pemanas air bertenaga sinar matahari ini relatif mahal. Maklum, pemanas air dengan tenaga listrik dan gas harganya hanya Rp 2-5 juta/unit. Namun, ia menyebutkan adanya keuntungan dari produk solar water heater ini dalam jangka panjang. “Investasi yang mereka keluarkan untuk membeli Wika SWH akan mencapai break even point (BEP) pada empat tahun dua bulan. Ini setara dengan pemakaian electric water heater selama empat tahun dua bulan. Setelah itu, mereka dapat menarik benefit dari produk ini tanpa harus menggunakan tenaga listrik yang mahal. Perbandingannya dengan pemanas air listrik bisa lebih hemat 80%,” Satrio menguraikan. Selain lebih hemat energi, produk ini didesain untuk digunakan di seluruh bagian rumah karena sistemnya centralized. Adapun pemanas tenaga listrik dan tenaga gas hanya diperuntukkan buat satu kamar mandi. “Satu unit produk kami bisa menggantikan tiga unit pemanas air energi listrik atau gas.”
Yang jelas, faktor harga ini masih memengaruhi keputusan masyarakat untuk membeli. Hal ini terlihat dari tingkat penguasaan produk ini di pasar. Menurut catatan Satrio, dari total pasar produk pemanas air, kategori SWH hanya menguasai 9,6% atau 12 ribu unit pada 2009. Angka ini menurun jika dibandingkan dengan tahun 2008, yaitu sebesar 10,2%. Diungkapkannya, pada 2009, pangsa pasar terbesar atau 69,6% dipegang pemanas air tenaga listrik atau sebesar 87 ribu unit. Penguasa pasar terbesar kedua adalah pemanas air tenaga gas sebesar 20,8% atau 26 ribu unit. Besarnya pasar seluruh produk pemanas air tahun lalu mencapai 125.001 unit.
Lalu, bagaimana kinerja penjualan Wika SWH? Menurut Satrio, berdasarkan taksiran internal perusahaan pada 2009, total produksi Wika SWH mencapai 4.616 unit atau memegang pangsa pasar 38,8% dari total penjualan produk-produk SWH di Indonesia. Jumlah ini turun dibandingkan tahun lalu yang mencapai 5.313 unit, setara dengan 7.900 kolektor panel atau menguasai 40,95% pasar SWH dari sekitar 10 produk SWH yang beredar di Tanah Air. Ia menilai penurunan ini terjadi karena kondisi makro atau krisis global pada 2008 yang kemudian diikuti dengan kenaikan harga bahan bakar minyak. Selain itu, saat itu banyak produk sejenis asal Cina yang menyerbu pasar lokal. “Angka produksi kami tak sebanding dengan Cina yang satu pabrik saja mampu memproduksi 30 ribu unit,” ujar Satrio. Saat itu Wika mengeluarkan second brand Sun Heater untuk mengatasi kehadiran produk-produk dari Negeri Tirai Bambu itu.
Saat ini Wika SWH membidik segmen perumahan (kapasitas reguler/kecil) serta industri dan bangunan (kapasitas besar). Di segmen reguler, selain mengincar segmen perumahan (ritel), Wika SWH juga menyasar segmen komersial kecil seperti hotel, salon, vila/bungalo, restoran dan tempat fitness. Sementara di segmen komersial dengan kapasitas besar perusahaan menggarap tiga segmen: gedung berlantai tiga ke atas seperti hotel, rumah sakit dan spa; industri; serta kolam renang air hangat. Menurut Satrio, kontribusi segmen perumahan dan unit komersial kecil ini mencapai 90% dan sisanya, 10%, merupakan segmen komersial besar. Dalam berpromosi, WKI menggunakan single image. Artinya, memakai nama Wika mulai dari lini produsen hingga distributor.
Tahun ini, selain melakukan pengembangan wilayah dan distribusi penjualan dalam negeri, WKI akan aktif mengikuti pameran ekspor ke luar negeri. Maka Satrio yakin tahun ini Wika SWH bisa dikembangkan hingga ke pasar ekspor dan memiliki kantor pemasaran ekspor di luar negeri. Adapun strategi Wika SWH tahun ini, antara lain mendiferensiasi produk dengan memberikan banyak benefit bagi konsumen, menguatkan distribusi dan meningkatkan kualitas layanan. “Pertumbuhan penjualan dalam lima tahun terakhir sekitar 15% dan untuk segmen industri naik sekitar 10%,” ujar Satrio sambil menambahkan, WKI menyisihkan 15% atau lebih dari Rp 5 miliar per tahun dari total penjualannya untuk riset dan pengembangan. Ke depan, ia mengharapkan Wika SWH dapat bermain di tingkat global, dan membangun OEM produk di wilayah Asia Afrika.
Menurut Yadi Budi Setiawan, pengamat pemasaran dari Force One, produk Wika SWH berkualitas bagus, bahkan tak kalah dari produk impor seperti Solahart. Kelemahannya adalah dari segi ketersediaan di pasar dan brand awareness. Ia mencermati produk ini baru menjangkau 60% pasar dan lebih banyak di Pulau Jawa. Ia juga melihat Wika SWH belum tersedia di banyak pasar modern seperti Depo Bangunan dan ritel konstruksi. Adapun dari sisi profil merek, ia menyarankan agar perusahaan melakukan re-branding, re-positioning atau re-labeling. Sebagai contoh, ia menyebutkan, nama SWH merupakan nama generik.
Yadi melihat saat ini adalah saat yang tepat bagi kategori produk SWH untuk berkembang, karena tarif dasar listrik akan dinaikkan. Apalagi, yang mau dicabut adalah subsidi untuk kelas menengah. “Momen ini tepat,” ujarnya. WKI, menurut Yadi, harus bisa mengedukasi pasar bahwa produk pemanas surya lebih hemat dibanding pemanas listrik dan pemanas gas. “WKI harus masuk ke komunitas-komunitas yang lebih tinggi dan banyak melakukan pameran di shopping mall,” demikian sarannya. Ia juga mengingatkan WKI untuk bisa menjual produknya dengan bahasa pemasaran yang lebih seksi, memikat, dan experiential di mana ada displai inovasi yang menggambarkan sirkulasi sistem dan perbandingan cost ratio penggunaan pemanas tenaga surya, tenaga listrik dan tenaga gas.
Ya, masih banyak pekerjaan rumah yang yang harus dikerjakan WKI agar produk Wika SWH bisa makin populer. (*)
Aweco Indosteel Perkasa:
Mendominasi Pasar Tangki LPG
Nama Aweco memang terdengar rada asing. Maklum, merek tersebut jarang berpromosi. Akan tetapi, jangan anggap enteng, karena di industrinya, produk tangki LPG Aweco, seperti tangki LPG untuk mobil truk, cukup tersohor.
Tengok saja, sederet perusahaan terkenal menjadi pelanggan produk buatan PT Aweco Indosteel Perkasa ini. Gudang Garam, Sampoerna, Grup Wings, APV Asia Pte. Ltd., Royal GMF-Gouda, GEA Process Engineering (S.E.A) Pte. Ltd., 3M Asia Pacific Pte. Ltd., GEA Colby Pty. Ltd., PT Mayora Indah Tbk., PT Bogasari Flour Mills, PT Indofood Sukses Makmur Tbk., PT Sinar Sosro, Sorini Corporation, PT Unilever Tbk., dan hampir seluruh produsen farmasi menggunakan produk Aweco.
Dipl. Ing. Adrigiri Widjaja, pemilik Aweco, membenarkan, perusahaannya tidak menggunakan media iklan secara besar-besaran guna memperkenalkan produknya. Apalagi, Aweco bukan korporasi ritel yang bermain di volume.
Ekspansi Aweco ke pasar tangki bertekanan yang dilakukan sekitar tiga tahun lalu — saat pemerintah gencar menggelar rencana konversi dari minyak tanah ke LPG, ternyata mampu merangkul pasar cukup erat. Buktinya, “Sekitar 75% tangki truk LPG yang beredar di seluruh Indonesia berasal dari kami,” kata Adrigiri mengklaim.
Kemampuan pihak Aweco merangkul pasar bukan karena kedekatan dengan pihak Pertamina. Soalnya, Pertamina tidak mensyaratkan mitra swastanya yang akan dijadikan Stasiun Pengisian Bulk Elpiji (SPBE) agar membeli tangki dari Aweco.
Justru sebaliknya, menurut pengakuan Adrigiri, pemilik SPBE-lah yang menghubungi Aweco untuk melakukan pemesanan. Dengan life time tangki sekitar 30 tahun dan garansi satu tahun terhitung sejak barang diterima, pemilik SPBE seakan ‘tersihir’ oleh kenyataan kualitas produk Aweco. Apalagi, tidak pernah ada komplain berkaitan dengan masa garansi. “Artinya, produk selalu dalam kondisi Ok. Dan kerusakan yang terjadi biasanya berada di luar produk Aweco,” ungkapnya.
Khusus untuk keperluan LPG, Aweco menawarkan dua jenis. Pertama, transport tank (truk LPG) yang produknya ada empat jenis berdasarkan kapasitasnya: 15, 18, 21 dan 25 ton. Kedua, storage tank yang berguna untuk menyimpan dan mendistribusikan LPG ke dalam tabung-tabung ritel LPG: 3 kg, 5 kg, dst. Untuk jenis ini, Aweco menawarkan range kapasitas 2- 400 ton. Menurutnya, kedua model produk tersebut ternyata direspons pasar dengan cukup baik. “Buktinya itu tadi, sekitar 75% transport tank dan storage tank LPG berasal dari Aweco,” Adrigiri menegaskan.
Ikhwal kepiawaian Aweco merangkul pasar LPG boleh dibilang memang cukup fenomenal. Maklum, Aweco (singkatan dari Adrigiri Widjaja Enginering Construction), baru berdiri sekitar 9 tahun lalu. Tepatnya, pada 2001, di salah satu kawasan Gempol, Pasuruan, Jawa Timur.
Adrigiri sendiri bukanlah orang baru di industri ini. Sebelumnya, ia pernah bergabung di perusahaan keluarganya, yaitu PT Meco Inoxprima. Sebagai pemilik saham dan direksi di perusahaan keluarga tersebut, Adrigiri mau tidak mau harus keluar-masuk berbagai divisi, mulai dari pemasaran sampai ke produksi. Tak mengherankan, dirinya mengerti benar seluk-beluknya.
Namun, karena ada perbedaan pendapat, Adrigiri akhirnya memutuskan mendirikan usaha sendiri, yaitu Aweco. “Waktu itu, modal yang saya tanam hanya ratusan juta. Luas lahan hanya sekitar 500 m2. Saya tidak mampu beli. Terpaksa saya menyewa,” ujarnya mengenang.
Mulailah Adrigiri melakukan gerilya pasar. Sejumlah kliennya dulu dihubungi lagi. Selain memperkenalkan nama korporasi baru yang dikibarkan, ia juga menawarkan beberapa layanan dan produk Aweco. Untungya, “Saya dulu menjalin hubungan dengan mereka secara pribadi. Sehingga lebih mudah menyambung lagi. Tentu, ini berbeda jika jalinannya dalam bentuk formal,” paparnya.
Proyek pertama yang dikerjakan Aweco adalah pembuatan conveying untuk Sampoerna. Proyek ini bisa tembus karena kedekatannya dengan perusahaan rokok tersebut. Adrigiri tidak ingat nilai proyeknya. Yang pasti, setiap pekerjaan yang diberikan selalu dikerjakan dengan prinsip kepastian akan ketepatan waktu dan penjagaan kualitas. Dengan bekal prinsip demikian, klien yang memiliki hubungan pribadi akan tambah dekat. Dan, tanpa disuruh pun, mereka akan memberi rekomendasi kepada kawan-kawannya bila menghadapi masalah serupa. Berbekal prinsip kerja seperti di atas, Aweco tumbuh dengan cukup cepat. Tak sampai satu tahun, lahan yang disewa pun tidak lagi mencukupi untuk sejumlah proyek dari pelanggannya. Akhirnya, dalam waktu tidak terlalu lama diputuskan membeli lahan seluas 2,1 hektare, yang sekarang menjadi basis Aweco.
Sejak itu, pesanan pelanggan seakan-akan tidak pernah berhenti mengalir. Karyawan yang hanya puluhan orang pun tidak mampu menangani sehingga harus ditambah. Cakupan produk Aweco juga terus berkembang. Karyawan Aweco yang sekarang mencapai 600 orang mampu menangani semua peralatan dan perlengkapan pendukung, antara lain untuk pabrik saus kedelai, pabrik saus cabe, pabrik sirup, pabrik ekstrak teh dan kopi, V-mixer, storage tanks dan sistem conveyor.
Tak hanya pasar dalam negeri yang dirambah. Sejak 2005, Aweco rutin sukses mengekspor salah satu produknya ke berbagai negara: negara-negara Eropa, AS, Korea Selatan, Cina, Jerman, Italia, Finlandia, Australia, Kanada, dan sebagainya. “Kami bisa ekspor karena memiliki hubungan pribadi dengan salah satu pemilik perusahaan Belanda. Setelah kami kontak, mereka sepakat melakukan joint design untuk membuat mesin pengering khusus septic tank,” ungkapnya. Selang beberapa bulan kemudian, malah Aweco dipercaya penuh mengerjakan seluruhnya. Kalau dirata-rata, tiap tahun Aweco mampu mengekspor dengan nilai US$ 10-15 juta.
Sayang, dengan alasan etika, Adrigiri enggan mengungkapkan omset yang sekarang berhasil dikantongi Aweco tiap tahun. Satu hal yang pasti, posisi Aweco sekarang makin kuat. Bahkan, disebut-sebut hampir menyamai posisi pendahulunya (Meco Inoxprima). “Kami tidak berani komentar soal itu. Memang kami dengar, posisi Aweco sudah hampir menyamai Meco. Tapi apa benar, kami kira bukan kami yang menilai,” katanya.
Di masa mendatang Adrigiri akan mengarahkan Aweco menjadi salah satu korporasi yang melayani industri dalam bentuk satu paket plant, mulai dari perencanaan, pelaksanaan, pengawasan, sampai penyerahan plant kepada pemilik. “Dan, itu sudah kami rintis melalui plant minuman Ale-ale milik Grup Wings. Ke sanalah arah kami ke depan. Karena kami berada di domestik, otomatis penanganan lebih cepat dan tidak menganggu proses selanjutnya, dibandingkan dengan produsen barang modal asing yang memiliki kualitas sama,” ia menuturkan.
Dede Suryadi dan Suhariyanto (Surabaya)/Riset: Dian Solihati
Share and Enjoy:




SIAPA DIA
 
Jeni Feronita
Thursday, April 29th, 2010
oleh : Ahmad Yasir


“Tidak ada kata tidak bisa dalam kamus hidup saya,” ujar Jeni Feronita, Manajer Pengembangan Bisnis Small and MidMarket Solutions & Partner Group PT Microsoft Indonesia. Sikap positif ini pula yang ditularkan Jeni ke enam anggota timnya. Diakuinya, sebagai manajer dia harus berperan sebagai motivator bagi anggotanya dan sebagai project manager bagi semua sumber daya yang dimilikinya. Hasilnya, dia membawa timnya mencatatkan penjualan 133% dari target yang ditetapkan pada kuartal terakhir tahun lalu. “Saya diganjar Gold Award Achiever Q2 2010 Microsoft,” ungkapnya. Lulus dari Jurusan Teknik Industri Universitas Trisakti di tahun 2000, sulung dari dua bersaudara ini sempat bergabung dengan perusahaan desain dan distributor bahan kimia sebagai tenaga penjualan & pemasaran selama dua tahun. Tahun 2002, lajang kelahiran Jakarta 17 Januari 1978 ini memulai kariernya di dunia TI dengan memasuki divisi Product Advisory PC & Notebook IBM yang belakangan dibeli Lenovo. Tiga tahun kemudian, Jeni bekerja di Dell Indonesia selama satu tahun hingga akhirnya bergabung dengan Microsoft. “Sejak awal saya menggeluti hardware. Sekarang saya bergabung dengan perusahaan software terbesar di dunia. Bagi saya, itu tantangan,” kata penggemar buku The Secret dan The Alchemist ini.
Agar sukses, menurut Jeni, setiap orang harus selalu melakukan yang terbaik dalam hidup karena waktu yang terlewati tidak bisa dikembalikan. “Cintailah pekerjaan dan jangan takut mencoba sesuatu yang baru,” ujar penyuka bersepeda ini. Dia menceritakan pengalamannya melakukan perjalanan sehari ke Singapura untuk mengambil demo yang diminta perusahaan rekanannya. Ini adalah bukti cintanya pada pekerjaan. “Pukul 8 malam, saya masih ditunggu CIO-nya. Karena macet, saya naik ojek ke kantornya. Dari sana, hubungan kami kini seperti sahabat dekat,” tuturnya mengenang. Hingga kini, Jeni terus disebut-sebut sang CIO sebagai account executive teladan.

Jeni Feronita
Posted By Ahmad Yasir On April 29, 2010 @ 10:51 am In Siapa Dia, Swa Majalah
“Tidak ada kata tidak bisa dalam kamus hidup saya,” ujar Jeni Feronita, Manajer Pengembangan Bisnis Small and MidMarket Solutions & Partner Group PT Microsoft Indonesia. Sikap positif ini pula yang ditularkan Jeni ke enam anggota timnya. Diakuinya, sebagai manajer dia harus berperan sebagai motivator bagi anggotanya dan sebagai project manager bagi semua sumber daya yang dimilikinya. Hasilnya, dia membawa timnya mencatatkan penjualan 133% dari target yang ditetapkan pada kuartal terakhir tahun lalu. “Saya diganjar Gold Award Achiever Q2 2010 Microsoft,” ungkapnya.
Lulus dari Jurusan Teknik Industri Universitas Trisakti di tahun 2000, sulung dari dua bersaudara ini sempat bergabung dengan perusahaan desain dan distributor bahan kimia sebagai tenaga penjualan & pemasaran selama dua tahun. Tahun 2002, lajang kelahiran Jakarta 17 Januari 1978 ini memulai kariernya di dunia TI dengan memasuki divisi Product Advisory PC & Notebook IBM yang belakangan dibeli Lenovo. Tiga tahun kemudian, Jeni bekerja di Dell Indonesia selama satu tahun hingga akhirnya bergabung dengan Microsoft. “Sejak awal saya menggeluti hardware. Sekarang saya bergabung dengan perusahaan software terbesar di dunia. Bagi saya, itu tantangan,” kata penggemar buku The Secret dan The Alchemist ini. Agar sukses, menurut Jeni, setiap orang harus selalu melakukan yang terbaik dalam hidup karena waktu yang terlewati tidak bisa dikembalikan. “Cintailah pekerjaan dan jangan takut mencoba sesuatu yang baru,” ujar penyuka bersepeda ini. Dia menceritakan pengalamannya melakukan perjalanan sehari ke Singapura untuk mengambil demo yang diminta perusahaan rekanannya. Ini adalah bukti cintanya pada pekerjaan. “Pukul 8 malam, saya masih ditunggu CIO-nya. Karena macet, saya naik ojek ke kantornya. Dari sana, hubungan kami kini seperti sahabat dekat,” tuturnya mengenang. Hingga kini, Jeni terus disebut-sebut sang CIO sebagai account executive teladan.
Indonesia Original Brands Rahasia Panjang Umur dan Tetap Perkasa
Thursday, April 29th, 2010
oleh : Dyah Hasto Palupi

Kemampuan perusahaan mengadopsi praktik-praktik bisnis modern menjadi elemen sangat penting bagi merek-merek yang ingin mencapai sustainability dan berumur panjang. Apa lagi rahasia merek-merek orisinal Indonesia sehingga tetap kuat dan panjang umur?
“Sudah lima tahun kami belum ada merek baru,” ujar Widjanarko Loka Djaja, Direktur Pemasaran dan Penjualan PT Kalbe Farma Tbk. terus terang. Ia mengaku, Kalbe lebih banyak berkonsentrasi menjalankan program ekstensifikasi dan leverage existing brand. “Walaupun cuma me-leverage merek-merek yang sudah ada, peluang suksesnya masih sangat besar,” ujar Widjanarko sembari menyebut Promag (tahun depan genap 40 tahun), Entrostop (38 tahun), Mixagrip (32 tahun), Fatigon, (lebih dari 13 tahun, direvitalisasi tahun 1997), dan beberapa merek lawas lainnya. Merek-merek yang disebutkannya itu adalah merek-merek asli Indonesia.
Dalam industri farmasi, menurut Widjanarko, ada faktor yang tidak bisa diganggu gugat, yaitu loyalitas dan kepercayaan konsumen. Konsumen yang sudah memercayai khasiat merek tertentu sulit mengubah keyakinannya dan pindah ke merek lain. Makanya, ia memastikan bahwa membangun merek baru di industri farmasi membutuhkan usaha yang jauh lebih besar dan biaya yang sangat mahal. ”Hanya mereka yang memiliki napas panjang atau diferensiasi kuat yang berpeluang eksis di pasar.”
Akan tetapi, mengembangkan merek-merek lawas, dari pengalaman Widjanarko, juga tak kalah repot dan njelimet. ”Brand extention harus dilakukan hati-hati,” katanya tentang salah satu kiatnya. Ketika me-leverage merek, karakteristik dan identitas induknya harus tetap terjaga utuh. “Kalau melebar terlalu jauh, ekstensi merek sangat riskan bagi existing brand yang sudah cukup powerful di pasar,” imbuhnya. Ia menandaskan, ekstensi merek tidak boleh dilakukan sembarangan.
Pengalaman Harianto Prasetia, Direktur Penjualan Martha Tilaar Group (MTG), mengajarkan hal yang sama. Sebagai profesional yang ikut mengawal pertumbuhan Sari Ayu pada 1980-an dan mengembangkan benih-benih (baca: merek) baru: Biokos, Caring Colours, PAC, Belia, Mirabella, Cempaka dan, yang teranyar, Dewi Sri Spa, Harianto meyakini, merek-merek tua tetap membutuhkan perawatan yang intens dan hati-hati. Merek lawas masih membutuhkan makanan, gizi dan perawatan yang memadai. “Kalau cuma kami biarkan, lama-lama pohon beringin ini bisa mati,” ujarnya menyebut Sari Ayu sebagai pohon beringin MTG.
Lalu, bagaimana merawat pohon tua agar tetap rimbun dan bisa menaungi merek-merek lain di bawahnya? Widjanarko punya tiga jurus andalan. Pertama, terus menjalin komunikasi dengan konsumen. Komunikasi adalah hal pertama yang dilakukan ketika masuk ke pasar. Beberapa produk, seperti Procold, tadinya adalah produk ethical yang kemudian dipindahkan menjadi produk bebas (over the counter/OTC). “Dengan riwayat pernah menjadi produk resep dokter, maka ada citra positif yang dibawa,” ungkapnya. Namun, ia menambahkan, tetap diperlukan komunikasi karena sebelumnya tidak boleh diiklankan.
Kedua, selalu mengembangkan produknya sesuai dengan kualitas yang dijanjikan. Maklum, obat-obatan adalah produk yang berdampak serius bagi kesehatan orang banyak. “Kualitas produk kami jaga dengan sangat hati-hati. Kalau kami bilang sebuah produk ada benefit-nya, itu berdasarkan kenyataan,” Widjanarko menandaskan.
Strategi ketiga, konsisten membangun brand awareness dan brand image. Proses ini berlangsung terus- menerus dan berevolousi. “Meski sudah dikenal,” katanya, “ kami secara kontinyu menjaga brand awareness dan brand image, menjaga kedekatan dengan konsumen.”
Widjanarko menambahkan, satu hal lagi yang menjadi fokus Kalbe dalam membangun merek adalah menciptakan karakter setiap produknya. Hal ini dinilainya penting karena diferensiasi berbagai produk yang nyaris tidak ada. Untuk itu, Kalbe sengaja memilih artis-artis tertentu sebagai dura merek produk-produknya untuk jangka lama.
Karakter ini menjadi sangat penting. Karakter dibangun lewat komunikasi kepada konsumen. “Kami lakukan dengan menggunakan banyak artis sebagai brand ambassador,” katanya menunjuk Ari Wibowo di Fatigon, Primus Yustisio di Fatigon Spirit, Dessy Ratnasari di Mixagrip, dan Deddy Mizwar di Promag yang rata-rata telah bekerja sama lebih dari 10 tahun. “Kami sangat hati-hati memilih artis karena dia akan menjadi brand ambassador yang diharapkan tidak berubah-ubah,” ujar Widjanarko.
Janoe Arijanto, Direktur Dentsu Strat, meyakini great brand is a great story. Cerita panjang tentang keberhasilan sebuah merek pasti merupakan cerita panjang tentang manajemen perubahan yang dilakukan. Janoe percaya, merek-merek asli Indonesia yang telah mencapai puluhan tahun dan tetap perkasa pasti melewati perjalanan panjang dengan berbagai macam peristiwa di keseharian konsumen. “Di perjalanan panjang itulah, brand-brand itu hidup bersama, dinikmati, dipertemukan dengan kompetitornya, diuji konsistensinya dan akhirnya bisa mendapatkan tempat penting dalam agenda hidup konsumen,” ungkap Janoe.
Jika berhasil melampaui perjalanan panjangnya, dipastikan sebuah merek memiliki keterikatan yang kuat dan lama dengan konsumen. Ia mampu menjaga konsistensinya dalam menyerap berbagai perubahan yang terjadi pada konsumen. “Perubahan- perubahan itu bukan sekadar menyangkut perubahan yang direspons melalui konsep kampanye komunikasi, melainkan juga bagaimana perubahan itu dikelola secara baik dan dinamis dalam user experience design, termasuk treatment brand dalam rentangan distribusi, purchasing behavior, product development, consumer experience sampai pada sharing process,” papar Janoe
Menurutnya, merek asli Indonesia yang hidup dalam kurun waktu lama di masyarakat yang heterogen dan kompleks selalu memiliki sejarah emotional engagement yang kuat di tiap segmen, bahkan unik di tiap-tiap konsumennya. Di level itulah, merek bukan hanya digemari dan dikonsumsi, tetapi juga dibela. Emotional engagement yang berproses ini, menurut praktisi periklanan andal itu, tidaklah cukup hanya dipelihara dalam kampanye-kampanye iklan belaka. Dia membutuhkan komitmen merek itu secara langsung dengan konsumennya, dalam bentuk consumer experience yang terjaga konsisten dalam jangka lama, baik itu menyangkut kualitas produk maupun layanan.
Kiat yang disampaikan Janoe itulah yang dijalankan Hartanto untuk Sari Ayu yang sudah berumur 40 tahun. Pertama, Sari Ayu berusaha tetap konsisten & fokus sebagai produk kecantikan. Kemudian, Sari Ayu mencoba tetap inovatif & kreatif dalam pengembangan produk, layanan dan komunikasinya. Dan demi mendapatkan emotional engagement , Sari Ayu berusaha berkolaborasi, mendengarkan dan berkomunikasi dengan konsumen, toko, distributor dan pemasok. “Terakhir, kami terus mengembangkan Sari Ayu agar memiliki diferensiasi nyata sebagai merek Indonesia yang berkonsep natural, eastern value, dan sebagai produk dengan teknologi mutakhir,” papar Harianto menjelaskan strategi yang dijalankan selama ini.
Yuswohady, pengamat pemasaran, mengatakan, jika perjalanannya kita simak, merek-merek asli Indonesia yang mampu bertahan lama dan tumbuh makin perkasa umumnya memiliki cirikhas sama, yakni mereka sangat tahu karakteristik dan kondisi serta kebutuhan konsumen Indonesia. Selain itu, perusahaan juga memiliki keuntungan kompetitif berupa kemampuan yang unik dalam meng-customize produk dan layanan agar pas dengan kebutuhan konsumen lokal. “Modal inilah yang memungkinkan mereka mampu bersaing dengan pemain raksasa global,” kata Yuswo tandas.
Sukses Sari Ayu, Yuswo menyebutkan contoh, ditentukan keuntungan kompetitif yang dimilikinya dalam memahami local market knowledge (budaya dan kebiasaan masyarakat dalam berdandan, kebutuhan dan perilaku konsumen terhadap produk kosmetik, relationship dengan distributor lokal, dsb.) “Inilah yang disebut ‘local competitive assets’ yang tidak dimiliki merek-merek global,” ujarnya.
Umumnya, merek global memang memiliki world’s best practices. Namun, tanpa diikuti local market knowledge, daya saing yang dihasilkan akan tumpul. “Jadi,” kata Yuswo, “kemampuan merek orisinal Indonesia membangun mereknya ditentukan oleh kepiawaian merek-merek tersebut dalam mendayagunakan local competitive assets yang mereka miliki.”
Yuswo menemukan empat pola keberhasilan merek asli Indonesia. Pertama, merek-merek tersebut memiliki strategi (brand-building strategy) yang ampuh dan jelas. Teh Botol Sosro, misalnya, muncul tahun 1970-an karena konsep produk yang jelas, yaitu minuman teh yang dibotolkan sehingga bisa dibawa dan diminum di mana pun dan kapan pun. Kedua, punya kemampuan eksekusi yang prima. Strategi branding yang bagus hanya menjadi konsep di atas kertas jika tak mampu dieksekusi dengan baik. Cerita A Mild, rokok low tar low nicotine pertama di Indonesia, menunjukkan kepiawaian mengeksekusi konsep branding ini. Padahal, seperti diketahui, selama lima tahun kategori baru ini gagal di pasar, tetapi karena keteguhan dan kecerdikan membaca pasar, akhirnya eksekusinya berhasil.
Ketiga, mampu belajar dan beradaptasi (learning & adapting) dengan perubahan pasar dari waktu ke waktu. Merek Sido Muncul atau Grup Orang Tua bisa bertahan dan tak pernah melapuk atau ketinggalan zaman karena kemampuannya untuk secara kontinyu beradaptasi dengan pasar yang terus berubah. Perubahan pasar tersebut direspons dengan inovasi dan pengembangan produk baru yang memungkinkan merek tersebut terus terejuvenasi dan tetap dinamis dari zaman ke zaman. Terakhir, keempat, adalah memiliki budaya dan nilai-nilai (values) perusahaan yang kuat. Budaya dan nilai-nilai perusahaan yang kuat merupakan jaminan terhadap merek-merek yang bisa bertahan lama (lasting brand). Ujung-ujungnya, jika ingin mereknya bertahan puluhan bahkan ratusan tahun, perusahaan harus memiliki budaya dan nilai-nilai yang kokoh.
Selain keempat pola keberhasilan merek asli Indonesia itu, dikatakan Yuswo, ada lagi satu elemen yang sangat penting, yang memungkinkan merek-merek tersebut mampu mencapai sustainability dan berumur panjang. Yaitu, kemampuan perusahaan mengadopsi praktik-praktik bisnis modern. Mengapa? Banyak merek yang dulunya hebat tetapi kemudian melapuk dan akhirnya mati karena perusahaan tidak dikelola dengan menggunakan pendekatan manajemen modern.
Menurut Yuswo, sebagian besar merek orisinal Indonesia awalnya dikelola perusahaan keluarga. “Kalau para pemimpin perusahaan keluarga ini tidak visioner, biasanya perusahaan tersebut sudah habis di generasi kedua atau paling banter sampai generasi ketiga,” ungkapnya. Namun jika pemilik ini memiliki visi jauh ke depan, dengan menerapkan pola pengelolaan modern, biasanya perusahaan ini bisa lebih langgeng dalam merespons perubahan. Yuswo mencatat, proses ini biasanya mencakup tiga fase. Fase generasi pertama biasanya dikelola secara entrepreneurial dan one man show. Selanjutnya di fase generasi kedua biasanya memanfaatkan profesional dan menerapkan profesionalisme di lingkup perusahaan, di sini pengelolaannya sudah bersifat hibrid, yaitu kolaborasi antara keluarga dan profesional. Barulah pada fase generasi ketiga, perusahaan sudah dikelola secara fully professional, secara penuh mengadopsi world’s best practices dalam mengelola organisasi.
Yuswo percaya, ke depan merek-merek asli Indonesia akan semakin mendapat tempat, tidak hanya di pasar lokal, tetapi juga di pasar regional. Selama terus memberikan manfaat, tetap relevan dan updated sesuai dengan perubahan zaman, menjaga kualitas, serta konsisten menjaga awareness dan identitasnya, suatu merek diyakini akan hidup panjang dan berkembang sepanjang masa.
Melejit Jadi Kejora Dunia
Thursday, April 29th, 2010
oleh : Teguh Sri Pambudi

Sejumlah merek dari negara berkembang sanggup menjadi pemain dunia. Apa saja kunci suksesnya?
Tahun 1995. Wang Chuandu mendirikan BYD di Cina. Mengucurkan US$ 300 ribu, misinya adalah membuat rechargeable batteries untuk menyaingi produk impor dari Jepang dan Korea Selatan. Saat itu, Cina memang dikuasai produk-produk impor, tak terkecuali baterai isi ulang.
Perlahan tetapi pasti, Wang menangguk sukses. Setelah sempat bersengketa seputar hak cipta dengan beberapa pabrikan baterai mancanegara, terutama dari Jepang dan Kor-Sel, BYD kini menjadi salah satu produsen baterai ponsel terbesar di dunia yang menjual produknya ke raksasa semacam Motorola, Nokia, Sony Ericsson dan Samsung. Bahkan, iPod dan iPhone pun menggunakan produk BYD.
Sukses dari sisi penetrasi pasar membawa berkah bagi kinerja keuangan. Lima tahun terakhir, pendapatannya tumbuh 45%. Saking kesengsemnya, Warren Buffet, sang investor legendaris, bahkan membeli 10% saham BYD. Dari nothing, BYD kini menjadi merek global. Dan melihat sukses yang diraihnya, Wang pun me-rebranding perusahaannya dari sekadar akronim “Biyadi” menjadi “build your dreams“. Kehebatannya mengangkat BYD dari merek kampung menjadi pemain global mengundang pujian Charlie Munger, rekan bisnis Warren Buffet. “Wang,” katanya, “adalah perpaduan antara Thomas Edison dan Jack Welch. Dia seperti Edison dalam penyelesaian masalah teknis, dan mirip Welch dalam mencapai apa yang diinginkannya.”
Setelah sebelumnya dianggap sebelah mata, merek-merek dari Cina kini memang kian mendapat tempat di pasar global. BYD adalah satu dari sejumlah merek Negeri Panda yang melejit di panggung bisnis dunia. Merek lain yang ngetop di antaranya ZTE, Lenovo, Huawei, Geely dan Haier.
Haier, contohnya. Produknya kini menyebar ke banyak negara, sekalipun masih dianggap di bawah pemain-pemain Jepang dan Kor-Sel. Haier kini terus memperkokoh posisinya. Ia tergolong lima besar produsen peralatan rumah tangga di dunia.
ZTE pun demikian. Mulai beroperasi pada 1997, pabrikan ini tampak akan menjadi salah satu dari top five pabrikan mobile-handset. ZTE tumbuh lebih dari 40% setiap tahun.
Satu dekade lalu, nama-nama di atas belumlah terdengar, bahkan tak pernah diperhitungkan menjadi pemain kelas dunia. Namun, seperti diungkap Boston Consulting Group baru-baru ini, nama-nama yang dulunya asing seperti Haier terus merangsek ke posisi terhormat di 25 industri besar di dunia.
Lantas, apa kunci sukses mereka melejit jadi merek global?
Kunci sukses Haier di antaranya adalah pada kepiawaiannya membuat produk sesuai segmentasi pasar yang dibidiknya. Haier memproduksi lini produk yang buat sebagian kalangan terlihat ekstrem. Mesin cuci untuk masyarakat pedesaan Cina, misalnya. Produsen ini menemukan bahwa mesin cuci sering berisi cipratan tanah dan lumpur. Kok bisa? Rupanya, alat ini juga digunakan untuk membersihkan sayuran. Maka, lahirlah produk yang bisa melayani kebutuhan ini. Pabrikan ini juga membuat mesin cuci kecil untuk profesional muda perkotaan, yang kebanyakan tinggal di apartemen mungil.
Selain kepiawaian menyegmentasi pasar, beberapa hal lain juga menjadi faktor sukses melejit jadi merek global. Antara lain, kualitas produk yang terus ditingkatkan dari waktu ke waktu, juga berani tumbuh ekspansif hingga mancanegara, termasuk bila harus mendirikan fasilitas penunjang produksi. Huawei, umpamanya. Raksasa telekomunikasi Cina yang telah menjadi patent applicant terbesar di dunia itu berani mendirikan pusat riset di Bangalore. Cara ini ditempuh agar bisa mendesain produk yang mampu menarik perhatian miliaran konsumen yang baru ikut gelombang globalisasi, seperti di wilayah Asia.
Namun, harga juga memainkan peran. Haier menjadi salah satu pemimpin pasar karena banderolnya lebih murah dibanding produk Barat. Dan untuk urusan yang satu ini (harga), ia tidak sendirian. Faktanya, produsen di negara-negara berkembang yang dulu dipandang sebelah mata seperti Cina memang mampu melahirkan produk yang murah, yang membuat gentar banyak pihak.
Seperti catatan The Economist (15 April 2010), kini, secara dramatis, situasi bisnis global mirip dekade 1950-an ketika Jepang melakukan penetrasi ke AS lewat produknya yang inovatif. Pabrikan di Cina, juga India, sekarang muncul dengan produk dan jasa yang lebih murah dibanding Barat: mobil senilai US$ 3.000, komputer seharga US$ 300, dan ponsel berbanderol US$ 30 yang bisa melayani seantero negeri dengan hanya mengutip US$ 2 sen per menit.
Yang pasti, ada sesuatu di bagian belakang (backyard) yang dilakukan sehingga harga bisa menjadi murah. Dan itu terletak pada kemampuan membenahi sistem produksi dan distribusi. Memang, banyak perusahaan – terutama di Cina – yang didukung pemerintah. Namun, belajar dari beberapa merek negara berkembang yang lebih dulu melejit, seperti Singapore Airlines, Samsung atau LG, pabrikan pemilik merek menyadari bahwa untuk bersaing di level global, kualitas produk adalah nomor satu – termasuk keunggulan di harga – sehingga penguatan di sistem produksi sangatlah penting.
Itu adalah kunci utama merek-merek lokal yang sukses meniti panggung global. Akan tetapi, bukan hanya Cina yang kini melejitkan merek-mereknya ke panggung dunia.
Dari Taiwan, selain Acer yang sudah jadi legenda, Asus adalah contoh merek yang melejit ke panggung global. Kejelian berinovasi menjadi kunci suksesnya, terutama di pasar netbook. Dan kini, Asus segera merilis Asus Eee Pad pada Juli 2010. Komputer tablet ini disiapkan untuk menghadang laju iPad milik Apple. Sejumlah fitur yang tak ada di iPad akan diberikan Asus Eee Pad seperti port USB, webcam dan Adobe Flash.

Selain Acer dan Asus, HTC adalah contoh dahsyat merek Taiwan yang disegani di panggung bisnis global. Bertahun-tahun menjadi outsourcing specialist yang memproduksi handset serta sejumlah peralatan elektronik untuk sejumlah klien seperti Palm, ia kemudian bergerak keluar dari bayang-bayang nama besar klien-kliennya. Perusahaan Taiwan ini menciptakan smartphone dengan mereknya sendiri: HTC. Dan langkah itu sukses. HTC bahkan termasuk pabrikan yang siap membeli Palm yang kini terpuruk.
Memiliki produk berkualitas dan mengetahui apa yang dibutuhkan pelanggan adalah kunci sukses HTC melambungkan namanya. Namun, karakter pun penting. “Kami melakukan hal-hal besar dengan cara yang bersahaja,” kata Peter Chou, CEO HTC. Maksudnya? “We let our actions speak louder than our words,” katanya menjelaskan. Artinya, HTC lebih mengedepankan produk ke pasar ketimbang membangun citra para profesionalnya. Juga, intens membangun kompetensinya sehingga bisa menghasilkan produk berkualitas. “Kami sangat fokus selama 13 tahun ini untuk membuat smartphone paling inovatif,” ujar Maggie Cheng, salah seorang eksekutif HTC.
Menyadari persaingan yang sangat berat di industri global, HTC berusahaterus memperbaiki diri. Dan strategi utama untuk stay on the top sebagai merek global adalah berupaya berdiri sejajar dengan pesaing – para pemain global yang lebih dulu menguasai pasar – atau bahkan lebih cepat dari mereka. Salah satu isu utama yang kini dihadapi adalah membuat sistem operasinya sendiri. Maklum, HTC tidak boleh bergantung pada pihak lain.
“Jika Anda melihat pemain smartphone yang sukses seperti Apple dan RIM, faktor kesuksesannya terletak pada fakta bahwa mereka memiliki platform sendiri,” ujar Steven Tseng, analis RBS Asia Ltd. di Taipei.
Analisis ini bisa dipahami. Para produsen smartphone memang merasa akan lebih nyaman bila memiliki sistem operasi mandiri. Alhasil, tak usah kaget bila Google yang memiliki Android pun akan membuat handset sendiri sehingga para produsen semacam HTC yang menggantungkan pada Microsoft Mobile dan Android mesti berpikir ulang. Apalagi, perlahan tetapi pasti, Android terus mendapat tempat di pasar. Data Gartner Februari 2010 menunjukkan Android kini menguasai 3,9% sistem operasi smartphone. Terbanyak masih dikuasai Symbian (46,9%), diikuti RIM (19,9%), Apple iPhone (14,4%), sementara Palm WebOS hanya 0,7%.
Merek-merek dari negara berkembang yang kini melejit di panggung bisnis dunia tidak hanya dari Cina ataupun Taiwan, yang menyusul merek-merek dari Kor-Sel dan Singapura. Dari India pun, deretan nama telah mewarnai bisnis global serta jadi preferensi konsumen dunia. Bajaj, Bharat Forge dan Tata adalah contohnya. Tata yang sudah terdiversifikasi ke aneka produk bahkan tergolong luar biasa: menyumbang 6% PDB India.
Bergeser ke Amerika Latin, sejumlah merek lokal juga melejit seperti Cemex (semen) dan Gruma (tortilla) dari Meksiko, dan pabrikan pesawat jet pribadi Embraer dari Brasil. Nama yang disebut terakhir ini membeli komponen dari negara-negara Barat dan melakukan perakitan di Brasil. Pembeli Embraer tersebar di seluruh penjuru dunia, dari Panama, Polandia hingga Arab Saudi. Perkembangan mutakhir: pabrikan Brasil ini telah membuat perusahaan patungan di Cina, untuk semakin mencengkeram pasar Asia, terutama dunia korporasi Cina yang kian tumbuh dan membutuhkan corporate jet.
Tentu saja, banyak hal yang bisa dipelajari dari merek-merek lokal yang sanggup melejit menjadi kejora di bisnis dunia. Beberapa hal pokok adalah fokus, meningkatkan kualitas, mendalami kompetensi, dan berani membuka pasar. Adakah merek-merek lokal Indonesia bisa seperti itu? Yang pasti, jalan masih terbuka lebar.
Bahkan merek-merek dari jiran kita, Malaysia Airlines dan Petronas (Malaysia), juga Chang (Thailand), telah sering tampil di pentas global. Kalau mereka bisa, mengapa kita tidak?
Halo merek lokal, jangan mau kalah!



Operasi Mengangkat INTI
Thursday, April 29th, 2010
oleh : Eva Martha Rahayu


Jajaran direksi baru sukses membalikkan keadaan, dari rugi Rp 15,32 miliar menjadi laba Rp 3,9 miliar. Manuver apa yang mereka lakukan?
Rabu, 18 Maret 2009. Irfan Setiaputra dilantik menjadi Presiden Direktur PT Industri Telekomunikasi Indonesia/INTI (Persero) oleh Menneg BUMN yang saat itu dijabat Sofyan Djalil. Mantan Direktur Pelaksana PT Cisco System Indonesia ini lolos fit and proper test. Selain Irfan, empat direksi lain juga dilantik di Gedung Garuda, Jl. Medan Merdeka, Jakarta, terkait perombakan direksi BUMN pelat merah tersebut.
Menjadi orang nomor satu di INTI membuat Irfan merasa terhormat. Meski sudah lama malang-melintang di perusahaan nasional dan multinasional di berbagai bidang industri, kelahiran Jakarta, 24 Oktober 1964, ini merasa jabatan baru tersebut merupakan tantangan baginya. Bagaimana tidak, BUMN ini adalah salah satu industri strategis yang sudah 35 tahun berkiprah di bidang telekomunikasi. Pada 1980-an bahkan pernah menjadi impian para insinyur muda untuk berkarier. Namun seiring dengan berjalannya waktu, perusahaan ini sakit berat. Laporan keuangan 2008 menunjukkan lampu merah: penjualan Rp 730,99 miliar, tetapi rugi Rp 15,32 miliar. Bagaimana bisa? Apalagi, INTI tidak didera turunnya kurs rupiah terhadap dolar tahun 2008 sebagaimana yang dialami perusahaan-perusahaan berorientasi ekspor-impor.
Itulah pekerjaan rumah bagi Irfan dan anggota direksi baru.
Setelah mempelajari, Irfan menemukan masalahnya terletak pada pilihan model bisnis yang kurang tepat. “PT INTI mengambil model bisnis yang marginnya tipis. Padahal, kami ini kan bisnisnya system integrator atau semacam kontraktor teknologi informasi (TI). Memang ada produk INTI, tapi kecil portofolionya, karena lebih banyak menjadi tukang jahit saja,” lulusan Teknik Informatika Institut Teknologi Bandung ini menguraikan.
“Waktu itu saya katakan kepada Pak Sofyan Djalil bahwa ada tiga kemungkinan penyebab ruginya INTI,” imbuh Irfan. Pertama, jualannya terlalu murah. Kedua, belinya kemahalan. Atau alasan ketiga, jualnya sudah benar dan belinya sudah murah, tetapi tercecer di jalan. “Lebih parah lagi jika turunan dari definisi ketiga, bukan tercecer di jalan, tapi dicecer untuk dipungut orang lain,” katanya tanpa mau menyebut detail alasannya mengeluarkan dugaan semacam itu.
Meski demikian, hasil bedah keuangan yang dilakukan Direktur Keuangan yang baru terpilih, Andy K. Saputra, menunjukkan harapan masih berpendar jika model bisnisnya memberi margin yang besar. Persoalannya, dari mana memulai perubahan agar terjadi turnaround?
Manajemen baru sepakat bahwa yang terpenting dalam organisasi perusahaan adalah SDM. Baginya, justru akan menjadi masalah besar bila 700 karyawan tidak termotivasi untuk melakukan upaya-upaya drastis di perusahaan tempat mereka bekerja.
Berangkat dari pola pikir itu, akhirnya Irfan membuat keputusan fenomenal. Ketika kondisi keuangan perusahaan minus, dia justru berani menaikkan gaji karyawan 43%. Cara ini ditempuh guna mendongkrak motivasi karyawan agar lebih baik lagi. Kebetulan, gaji karyawan kala itu masih di bawah rata-rata industri. “Meningkatkan motivasi bisa dengan berbagai cara, baik ancaman atau menaikkan gaji. Dan kami pilih untuk menaikkan gaji,” ungkap mantan anak buah Robby Djohan saat bekerja di Bank Niaga ini. Konsekuensinya, demi kenaikan gaji itu, kas perusahaan berkurang karena anggaran untuk pos gaji bertambah Rp 11 miliar.
Gayung pun bersambut. Karyawan menyambut dengan suka cita keputusan kenaikan gaji yang telah lama ditunggu. Mereka senang direksi memprioritaskan kesejahteraann karyawan untuk kemudian membangun kemajuan perusahaan. “Dulu naik gaji sulit,” ujar Dadang Edi Prasojo, GM Procurement & Logistic INTI.
Setelah menaikkan gaji pegawai, langkah Irfan selanjutnya adalah merombak struktur organisasi. Strategic business unit (SBU) diubah menjadi level function. Tujuannya agar organisasi lebih fokus dan membuat orang lebih bertanggung jawab atas tiap function yang dikelolanya. Dengan demikian, keberadaan 5 SBU – antara lain seluler, fiber dan maintenance – dihapuskan, diganti menjadi 20 function, seperti marketing, keuangan dan operasional.
Pascaperombakan SBU menjadi fungsi, Irfan mendefinisikan fungsi-fungsi tersebut, membangun organisasinya, dan menaruh orang-orang untuk memimpin tiap fungsi.
Dengan mengubah dari SBU ke function, tidak ada satu orang pun yang memiliki kewenangan A-Z. Sebab, perombakan ini membuat seseorang yang mungkin saja mempunyai kedalaman pada satu hal atau bidang hanya punya kewenangannya di satu sisi. Bandingkan dengan pola SBU sebelumnya. Dulu tiap SBU memiliki fungsi-fungsi tersendiri, seperti keuangan. “Saya tidak mau melihat apa saja kesalahan di belakang, lebih baik saya pikirkan ke depan,” ujar Irfan ketika ditanya lebih jauh soal kesalahan sistem di masa lalu.
Dijelaskan Tikno Sutisna, dengan perombakan organisasi, 2-3 bulan pertama menjabat, direksi turun ke bawah. Di lantai direksi disediakan ruang khusus yang disebut war room. Ada direksi yang mengawal, siaga menjawab setiap pertanyaan yang datang. Tiap orang bisa datang ke war room untuk menangani kekisruhan dari perubahan yang ada. “Dua bulan kami sempat chaos, apalagi perubahannya di tengah tahun. Namun, dengan niat baik, ternyata masa sulit dapat terlewati,” kata Direktur Operasional dan Teknik INTI itu. Melalui war room, direksi siap terlibat terus. “Handphone saya buka terus, nggak masalah,” imbuh Irfan.
Untuk mengoptimalkan alur kerja, manajemen baru juga meningkatkan fungsi kecanggihan TI. Menurut Irfan, manajemen tidak bisa melempar masalah, lalu main golf. “Solusinya dengan TI,” ujarnya tegas. Dia memberi contoh: dulu keputusan harus diambil tiga orang, kini cukup satu orang. Sebab dengan bantuan TI, proses menjadi lebih cepat. Maklum, dulu, form ada di kepala divisi, lalu anak buah dikumpulkan untuk tanda tangan jika ada keputusan. Akibatnya, prosesnya tidak efisien sehingga memunculkan persoalan-persoalan teknis yang sebelumnya tidak terbayangkan.
Perubahan lain yang diterapkan tim Irfan adalah lebih cermat dan hati-hati dalam menandatangani kuitansi pengeluaran. Awalnya, hanya pengeluaran di atas Rp 5 miliar yang mesti diteken dirut. Namun, setelah Irfan masuk, aturan itu diubah. “Pengeluaran Rp 200 juta ke atas harus ditandatangani dirut. Langkah ini merupakan proses untuk kontrol saja,” ayah dua anak ini menuturkan.
Vitamin untuk motivasi sudah dibenahi. Organisasi pun sudah ditata. Demikian pula pemanfaatan TI untuk mengoptimalkan alur kerja. Maka, let’s do business. Melihat model bisnis yang ada, Irfan berupaya menggenjot bisnis yang bisa menghasilkan margin tinggi. Hasilnya, system integrator dipertahankan dengan ikhtiar meningkatkan profit margin. Begitu pula bisnis maintenance.
Lantas, bagaimana hasil manuver Irfan?
“Dibantu networking direksi sekarang, sudah mulai ngalir proyek-proyek baru,” ujar Dadang. Dia pun heran dengan sikap karyawan yang “jinak” terhadap manajemen baru. “Sekarang saya heran, organisasi dirombak, kok karyawan adem ayem. Mungkin karena awalnya gaji karyawan langsung dinaikkan 43%. Padahal, dulu perubahan mendasar yang dilakukan direksi selalu membawa korban dan tantangan berat,” ungkap pria yang 24 tahun mengabdi di INTI.
Hasil lainnya, rapor keuangan yang tahun sebelumnya merah menjadi biru. Tahun 2009, INTI berhasil mencetak laba bersih Rp 3,9 miliar. Pencapaian ini jelas membanggakan lantaran tahun 2008 harus menelan pil pahit karena rugi Rp 15,32 miliar. Sementara tahun 2007 tidak minus, tetapi untungnya lebih kecil, yakni Rp 1,38 miliar. Padahal, tahun 2006 pernah mendulang masa kejayaan dengan laba bersih Rp 8,63 miliar. “Sebenarnya, menurut perhitungan, kalau kami tidak menaikkan gaji karyawan, ada tambahan keuntungan Rp 11 miliar itu tahun 2009. Tapi, kalau gaji karyawan tidak dinaikkan, belum tentu kita untung,” ungkap Andy.
Dengan rapor biru tahun 2009, Irfan berarti telah memenuhi janjinya. Pasalnya, ketika dilantik dia berjanji kepada Menteri Sofyan Djalil akan membuat laporan keuangan 2009 menjadi positif. “Kalau tidak, kami siap dipecat saja,” ucap Irfan menirukan janjinya dulu.
Harus diakui, Irfan dkk. cukup cerdik untuk memotivasi karyawan dengan menaikkan gaji. Namun, adem ayem-nya situasi tak bisa dilepaskan dari upaya direksi menumbuhkan keteladanan. Guna menyempurnakan pembenahan, dewan direksi rela melepas kenyamanan. Mereka bersedia menanggalkan dan membatasi aneka fasilitas seperti penggunaan kartu kredit. Sekarang, pengeluaran diklaim sesuai dengan kewajaran pengeluaran dinas seorang direksi.
Urusan mobil direksi pun dibenahi. Mobil direksi yang sekarang baru diganti tahun 2010 meski jadwalnya tahun 2009. Itu pun kelas mobilnya tidak setinggi dulu. Yang semula Camry, sekarang Nissan Teana. Tiap Sabtu-Minggu, fasilitas kendaraan direksi tidak bebas digunakan untuk pribadi, jadi dikembalikan ke kantor. Pribadi boleh memakainya, tetapi wajib mengisi bensin dengan kocek sendiri dan membayar honor ke sopir kantor di hari pemakaian.
April 2010. Setelah berhasil melakukan turnaround, Irfan tak mau tinggal diam. Tahun 2010 dia mematok target keuntungan naik 50% dari tahun sebelumnya. “Kami berharap profit tahun ini sekitar Rp 6 miliar dan revenue lebih dari Rp 20 miliar,” ujarnya. Untuk mendukung target itu, pihaknya ingin mengambil bisnis-bisnis yang marginnya di atas 50%.
Akan tetapi, untuk sumber pertumbuhan yang lebih besar, Irfan siap dengan sejumlah agenda. Sebelumnya, fokus di bisnis jasa, seperti system integrator, maintenance atau management service, sedangkan target berikutnya adalah masuk ke bisnis TI yang mengubah capital expenditure menjadi operational expenditure buat pelanggan. Untuk itu, mereka hendak menggunakan kembali pabriknya yang selama 10 tahun sudah mati. “Kami ingin menghidupkan ulang fasilitas ini. Tujuannya, agar bisa jadi pendapatan baru bagi perusahaan,” ungkapnya. Setelah itu, dia ingin mengembangkan produk-produk baru hasil pengembangan sendiri atau perusahaan lain, tetapi INTI menjadi penjualnya. Yang terakhir, masuk ke bisnis konten.
Dengan pola pengembangan seperti itu, pada 2014 portofolio bisnis integrator bisa di bawah 40% dari total bisnis (kini kontribusinya 90% lebih). Dan dengan paradigma pertumbuhan, bisnis yang tak menguntungkan akan dihentikan operasinya.
Namun, keberhasilan yang dicapai Irfan dkk. bukan tanpa hambatan sama sekali. “Kendalanya soal ownership,” ungkap Dayu Rengganis, Direktur SDM dan Umum INTI. Artinya, bagaimana memunculkan rasa memiliki terhadap perubahan yang dilakukan. Upaya yang ditempuh adalah membentuk people manager. Semua orang diajak menjadi “direktur SDM” bagi bawahannya. Tujuannya, supaya pejabat struktural dapat mengelola masing-masing SDM.
Terlepas dari kendala yang dialami tim Irfan, menurut Donny Oktavian Syah, momentum perubahan yang diusung Irfan adalah manuver bisnis yang layak diapresiasi. Sebab, tidak semua change management yang diusung pemimpin baru mampu mengangkat perusahaan dari keterpurukan, malah kondisi perusahaan kian jeblok. “Contohnya, kasus Merpati yang kala itu dirutnya adalah Hotasi Nababan yang merupakan direksi termuda masa itu (37 tahun), lulusan sekolah terbaik dan pernah bekerja di perusahaan asing papan atas. Ternyata, itu bukan jaminan,” Direktur Pengelola Great Management Consultant itu memaparkan. Padahal, waktu itu Merpati digelontor banyak duit untuk penyelamatan, tetapi kurang berhasil.
Nantinya yang perlu diwaspadai Irfan, menurut Donny, bagaimana memastikan perubahan yang positif ini dijaga. Apalagi, core business-nya bersentuhan dengan TI yang perkembangan bisnisnya dinamis. Berarti lekat dan adaptif dengan teknologi yang terbaru merupakan sebuah keniscayaan. Corak bisnis model seperti menuntut kewaspadaan tinggi. Sekali tidak adaptif, bayang-bayang kerugian pasti mampir.
Eva Martha Rahayu & Herning Banirestu
Riset: Sarah Ratna
BOKS 1:
Langkah Irfan Membenahi INTI
A. Moral Karyawan
•    Menaikkan gaji karyawan 43%
•    Tidak melakukan PHK, meski terjadi perubahan besar
B. Organisasi
•    Mengubah lima strategic business unit (SBU) menjadi 20 function
•    Menjadikan proses pengambilan keputusan lebih cepat, dari kewenangan tiga orang menjadi satu orang
C. Efisiensi
•    Membatasi penggunaan kartu kredit direksi
•    Menurunkan level mobil dinas direksi dan melarang pemakaian mobil dinas untuk kepentingan pribadi
D. Bisnis
•    Menggenjot profit margin dari existing business
•    Berencana mengembangkan bisnis baru yang potensial: masuk ke bisnis TI yang mengubah capital expenditure menjadi operational expenditure buat pelanggan
_SIAPA DIA
Isaphira Tanamal
Posted By Rias Andriati On April 29, 2010 @ 10:15 am In Siapa Dia, Swa Majalah
Berawal dari hobinya merangkai bunga, Isaphira Tanamal mendirikan usaha florist, Cyrosella Fleurist, tiga tahun lalu. Padahal, ia lulusan Jurusan Komputer Royal Melbourne Institute of Technology, Australia. Ia belajar merangkai bunga secara otodidak dengan melihat tantenya yang gemar merangkai bunga dan lewat buku-buku. “Awalnya, saya bantu-bantu bisnis dispossable goods orang tua,” ungkap putri pasangan Suhartono Yasin dan Chen Wei Fen, yang lahir di Singapura, 7 Januari 1983, ini.
Awalnya, rangkaian bunga Isaphira diberikan kepada kawan dan keluarganya sebagai hadiah ulang tahun. Ternyata, teman-temannya suka. Promosi tahap awal pun berhasil. Tak disangka, pesanan komersial datang. Keputusan bulat dilakukannya. Cyrosella Fleurist akhirnya dibuka dengan merogoh kocek sendiri, sebesar Rp 300 juta. Melalui jaringan pertemanan, nama Cyrosella mulai dikenal. Tak membatasi hanya sebagai florist, Cyrosella juga melayani dekorasi tempat pernikahan. Setidaknya, dalam setiap dekorasi, nilai pesanannya bisa mencapai Rp 100 juta. Besarnya tarif ditentukan permintaan bunga, impor atau lokal. Ia bertutur, ada hotel dengan kelas tertentu yang sudah mematok spesifikasi bunga. Karena itulah, rata-rata pelayanan dekorasinya bisa mencapai Rp 200-300 Juta.
Dimulai dari beberapa karyawan, kini Cyrosella mempunyai 80 karyawan. Awal 2010, Cyrosella juga hadir di Surabaya. Layanan lewat situs web pun mulai digeber Isaphira. Saat ini, ia memiliki 80 pelanggan tetap. Di tengah persaingan cukup ketat di antara para florist, jurus yang ditempuhnya adalah melakukan inovasi rangkaian bunga dengan desain yang berbeda pada setiap produknya.
Rias Andriati

Afan Suryadi
Thursday, April 29th, 2010
oleh : Eddy Dwinanto Iskandar


Kendala dana tak menghalangi Afan Suryadi untuk menyertakan perusahaannya menikmati gebyar Piala Dunia 2010. “Agak sulit bagi lembaga kursus bahasa Inggris menjadi sponsor Piala Dunia,” ujar Direktur Pemasaran English First (EF) ini. Maka, Afan dan timnya memilih jalan memutar. EF turut berkampanye menyongsong Piala Dunia dengan Ten Five, program perayaan 15 tahun EF di Indonesia dengan salah satu hadiahnya: 10 tiket menonton langsung Pesta Bola Dunia Afrika Selatan. “Kan yang penting tidak menggunakan kata Piala Dunia, World Cup atau FIFA,” ujar pria kelahiran Jakarta, 31 tahun lalu ini.
Program itu berjalan lancar dari Oktober 2009 hingga saat pengundian, 13 April 2010. “Dengan adanya Ten Five, kami harap jumlah siswa tahun ini meningkat 20%. Adapun jumlah murid saat ini sekitar 25 ribu/minggu yang tersebar di 70 sekolah EF,” papar sulung dari dua bersaudara yang hobi main futsal dan basket ini.
Sejatinya, ide kreatif disumbangkan Afan sejak enam tahun lalu saat awal bergabung dengan EF. Lulusan Universitas Tarumanagara ini masih ingat kala dirinya menjadi Kepala Cabang EF Mal Lippo Karawaci yang baru saja dibuka. Saat itu, EF mengambil tempat di lantai teratas yang jarang dilalui pengunjung mal. Ia pun menggelar pertunjukan barongsai di lantai dasar dan puzzle games. Yang bisa mengikuti games tersebut diberi sebuah mug yang bisa diambil di kantor EF.
Alhasil, hanya dalam enam bulan, cabangnya meraih 300 murid per bulan. Umumnya, jumlah ini baru dapat diraih setelah suatu cabang EF berdiri selama setahun. Dan, berkat berbagai prestasinya, tujuh bulan lalu kantor pusat menariknya untuk menduduki pos Direktur Pemasaran.

RIYEKE USTADIYANTO
Ragu atas kemampuan media online untuk melejitkan penjualan? Cobalah temui Riyeke Ustadiyanto, pakar search engine optimization (SEO). “Ada mantan house keeper di Bali yang kini memiliki omset Rp 3 miliar/bulan dari bisnis rental vila kelas atas di Bali,” tutur Riyeke, sang pendiri dan CEO PT Marketbizz Media, konsultan strategi Internet yang berkantor pusat di Legian, Bali, dan memiliki cabang di Jakarta. SEO adalah teknik agar suatu situs web lebih mudah ditemukan di antara ribuan bahkan jutaan hasil pencarian suatu kata kunci. “SEO itu bukan cara singkat menjadi kaya, melainkan mengajarkan berbisnis menggunakan Google,” ujar kelahiran 1972 yang akrab disapa Keke ini.
Ia menggeluti SEO sejak awal 2000-an, selulus kuliah Akuntansi Universitas Gadjah Mada. Keke, yang sempat menjadi penjaga warung Internet, menemukan momentumnya saat meledaknya bom Bali I. Saat itu, pengusaha pariwisata di Bali tidak kuat membayar tenaga SEO asing. Maka, ia pun menuai banyak klien. Dengan strategi SEO yang berupaya mendominasi pembicaraan di Internet, kala itu Keke bersama pegiat SEO lainnya meminta seluruh pelaku pariwisata di Bali membuat satu tulisan positif tentang Bali setiap hari. Tulisan yang dimuat di blog dan situs web pengusaha di Bali itu kemudian menjadi topik dominan di Internet. “Itulah salah satu penyebab pariwisata Bali lekas pulih,” ujarnya. Sekitar dua tahun lalu, ia juga membantu pencitraan Jawa Tengah dan Jawa Timur dengan slogan “The Incredible Java”.
Bersama kawan-kawannya, pada 2008, Keke mendirikan gerakan UKM Goes Online, yang mengajarkan SEO kepada usaha kecil-menengah. “Kami memiliki visi menciptakan 1 juta netpreneur (pengusaha berbasis Internet) baru dan menghasilkan devisa bagi Indonesia. Saat ini, jumlah alumni kami mencapai 10 ribu UKM dengan omset masing-masing Rp 400 juta hingga miliaran rupiah per bulan,” kata ayah dua anak ini.


Italo Gani
Thursday, April 29th, 2010
oleh : Wini Angraini

Melihat tantangan baru di dunia mobile, Italo Gani pun menerima pinangan m-STARS. “Tugas saya lebih ke business development, marketing, dan semua hal yang terkait dengan komersialisasi produk,” kata Chief Commercial Officer PT Antar Mitra Prakasa, perusahaan yang menaungi m-STARS yang fokus pada pengembangan mobile content dan mobile advertising, ini. Tak tanggung-tanggung, kelahiran Bandung, 17 Juni 1975, yang punya darah Italia ini melepaskan kepemilikan saham di Digitalbridge, perusahaan TI yang ia dirikan bersama rekannya, seorang investor asal Singapura.
Menurut suami Savitri Wibisarto yang hobi renang dan traveling ini, salah satu fokus m-STARS adalah pengembangan mobile advertising sebagai media baru. Selain bekerja sama dengan sejumlah operator telekomunikasi, ia pun harus memberikan pemahaman kepada para agensi iklan soal pentingnya mobile phone sebagai media tempat beriklan. Tak sia-sia. Hasilnya, ada sekitar 20 agensi yang sudah bekerja sama, antara lain Starcom Worldwide, DM Pratama, Ogilvy, Zenith dan Leo Burnett. Selain itu, sejumlah perusahaan yang mereknya telah menggunakan jasa m-STARS memasang iklan lewat mobile, antara lain Citibank, Grup Orang Tua, Garudafood, Unilever, Air Asia dan TVS.
Italo optimistis, ke depan, dunia mobile advertising punya potensi bisnis sangat besar. “Sekarang sudah mulai ada perusahaan lokal yang mencoba ikut masuk ke bisnis mobile advertising ini,” ujarnya. Namun ia tak gentar, selain kuenya memang masih besar, sebagai pionir di Indonesia, m-STARS telah berpengalaman. “Saya benar-benar sedang membangun ekosistem di bisnis ini,” kata alumni Teknik Industri Institut Teknologi Bandung yang mengawali karier di Nawala Networks (PT Jaringan Nawala Indonesia), perusahaan webhosting asal Amerika Serikat, dengan posisi terakhir sebagai chief operational officer ini. Ia juga sempat membuat situs web bernama Indoitalia.com saat berusia 23 tahun.













Intelijen Bersaing: Alat Bantu untuk Melumpuhkan Pesaing
Thursday, April 29th, 2010
oleh : Istijanto Oei


Judul : Competitive Intelligence Advantage: How to Minimize Risk, Avoid Surprises, and Grow Your Business in A Changing World
Penulis : Seena Sharp
Penerbit: John Wiley & Sons, 2009
Tebal : 290 halaman
Kalau kita akan berburu ke hutan, kita tidak cukup membawa senjata. Kita perlu alat bantu seperti peta atau kompas. Ini berguna supaya kita tidak tersesat dan berhasil mendapat buruan. Analogi yang sama juga terjadi di bisnis. Manajer juga membutuhkan alat bantu supaya keputusan yang dibuat tidak keliru.
Alat bantu pebisnis atau manajer tak lain adalah informasi. Kedengarannya klise, tetapi ini perlu ditekankan lagi. Maklum, banyak pebisnis atau manajer terlalu mengandalkan intuisinya. Beruntung kalau yang terjadi trial and success. Kenyataannya, lebih banyak terjadi trial and error. Tentu saja, tidak ada yang memimpikan kondisi ini. Terlebih, kondisi persaingan saat ini lebih kompleks dibanding sebelumnya. Yang berlaku saat ini, knowing and success. Inilah peranan informasi supaya pengambil keputusan tak tersesat.
Apa saja informasi yang dibutuhkan manajer dan bagaimana mendapatkannya? Buku Competitive Intelligence Advantage karya Seena Sharp berusaha memberi jawabnya. Namun, di sini kita perlu hati-hati mengartikan istilah competitive intelligence (CI). Awam sering mengartikan CI sebagai tindakan memata-matai pesaing layaknya spionase atau agen rahasia. Padahal, CI sama sekali bukan itu. Buku ini mendefinisikan intelijen bersaing atau CI sebagai pengetahuan masa lalu dan masa mendatang tentang lingkungan bisnis secara menyeluruh yang berujung pada tindakan. Perhatikan kata-kata dalam definisi ini: “masa mendatang”, “menyeluruh” dan “tindakan” yang mengindikasikan nilai lebih atau ciri CI.
Di bab-bab awal, buku ini tampak mengedepankan keunggulan CI dibanding metode lain termasuk riset pemasaran. Buku ini menvonis keterbatasan riset pemasaran yang hanya berkutat pada survei konsumen dan FGD. Riset pemasaran juga dinilai hanya menangkap sesuatu yang sudah lewat dan saat ini saja. Kelemahan lain, riset pemasaran tidak berujung pada tindakan strategis, hanya berkutat pada metode analisis. Lalu, bagaimana dengan CI?
Sheena Sharp sang penulis mengatakan, intelijen bersaing memiliki cakupan yang luas atau menyeluruh. Tidak hanya pesaing — kalau cuma ini, disebut competitor intelligence — tetapi meliput 12 elemen. Elemennya adalah demografis penduduk, kondisi ekonomi, teknologi, industri lain, distributor, pelanggan, produk substitusi, pemasok, pemerintah atau aturan, prospek, budaya dan pesaing. Diberikan contoh, salah satu produsen tas kantong plastik. Untuk tujuan ekspansi, perusahaan ini membutuhkan intelijen. Dengan CI maka perlu dilihat juga komponen industri lain, yaitu kondisi bisnis supermaket, industri kemasan, industri plastik, industri minyak bumi dan lingkungan hidup. Contoh ini menunjukkan CI berupaya memberikan intelijen yang lebih luas, tidak cukup pesaing.
Di bab 4 digambarkan bahwa pesaing hanyalah sepotong puzzle dari 12 puzzle yang perlu diketahui perusahaan. Sekali lagi, ini menegaskan CI lebih dari sekadar mengetahui pesaing. Khusus mengenai pesaing ini, ada tujuh pertanyaan yang perlu dijawab: siapa mereka, apa kekuatan dan kelemahan mereka, apa keunggulan mereka, apa ancaman yang mereka bawa, apa tawaran spesial mereka, bagaimana perbandingan produk dan jasa mereka, serta apa yang membuat mereka berhasil. Ini semua perlu diketahui jawabannya.
Dalam bab 5, kembali Sheena menekankan nilai-nilai lebih CI. CI menghasilkan intelijen. Menurutnya, intelijen memiliki kedudukan lebih tinggi daripada data dan informasi. Mengapa? Karena intelijen mengikuti proses: data —> informasi —> intelijen. Singkatnya, intelijen lebih dari sekadar informasi. Ini berarti informasi yang dihasilkan sudah dianalisis menjadi wawasan (insight) sehingga membuat kesimpulan yang lebih baik, membuat rekomendasi yang lebih cerdik, lebih memahami pemain yang pada akhirnya mendorong tindakan yang tepat (hal. 98).
Bab-bab tengah berikutnya membahas tentang proses pengolahan data menjadi informasi. Namun, yang dibahas bukanlah teknik menganalisis layaknya riset pemasaran tetapi lebih ke pemahaman data dan informasi. Secara khusus di bab 9 dipaparkan sumber-sumber informasi seperti surat kabar, publikasi, asosiasi, pameran dagang, Internet, termasuk humint. Humint merupakan kependekan human intelligence, yaitu informasi yang diperoleh langsung dari orang atau ahli. Istilah ini sebenarnya bukan barang baru. Riset pemasaran menyebutnya sebagai expert survey.
Sebenarnya, muatan inti CI justru diletakkan agak belakang, yaitu di bab 10. Bab ini membahas proses CI. Prosesnya digambarkan sebagai siklus dengan urutan: data —> informasi —> intelijen —> keputusan —> tindakan —> hasil. Setelah hasil, berulang lagi dari data dan seterusnya. Sekali lagi, proses ini menyoroti bahwa CI memproses informasi menjadi intelijen untuk menjalankan tindakan. Lalu, siapa yang menjalankan proses ini? Buku ini mengusulkan sebutan praktisi CI (CI practitioner). Praktisi CI merupakan orang yang memiliki kombinasi antara pengalaman bisnis beberapa tahun dan kualifikasi melakukan investigasi layaknya jurnalis.
Meski buku ini mencoba membandingkannya dengan marketing research dan menvonis bahwa riset pemasaran lebih tertinggal dibanding intelijen bersaing (hlm. 29-30), menurut peresensi — yang juga praktisi dan penulis buku riset — perbandingan ini agak berlebihan. Riset pemasaran juga berorientasi pada keputusan. Bahkan, Malhotra (2010) dalam bukunya, Marketing Research, juga meliput sumber-sumber informasi yang luas, tidak seperti yang dituduhkan: hanya pelanggan. Malhotra sendiri menyebutkan, riset pemasaran berperan penting dalam proses CI. Sebaliknya, Sheena Sharp menyarankan menjalankan CI lebih dulu sebelum riset pemasaran. Tampaknya memang ada area abu-abu antara CI dan riset pemasaran. Ini juga diakui para penulis buku tersebut.
Terlepas dari itu, buku Competitive Intelligence Advantage ini layak dibaca untuk memperkaya pemahaman kita tentang pentingnya informasi. Buku ini menyadarkan pentingnya kita melihat persaingan sebagai gambaran yang luas, tidak sempit hanya pada pesaing. Satu kutipan yang saya sukai dan cukup mendalam kalau dicerna di buku ini adalah “What you don’t know will hurt you”. Jadi, informasi yang penuh insight atau intelijen berguna untuk mengantar kita jadi pemenang di dunia bisnis.

*) Peresensi adalah pengajar & konsultan Prasetiya Mulya Business School, penulis buku Aplikasi Praktis Riset Pemasaran.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar